WahanaNews.co | Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang para penagih utang atau debt collector menggunakan kekerasan ketika melakukan penagihan utang pada konsumen.
Hal ini diungkapkan merespons kasus penarikan paksa dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh debt collector.
Baca Juga:
Industri Fintech Bergolak di IFSE 2024, OJK Serukan Perlindungan Konsumen
Menurut Deputi Komisioner Perlindungan Konsumen OJK Sarjito, Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) wajib melarang rekanannya yang mewakili kepentingan PUJK melakukan kekerasan dalam penagihan utang konsumen atau melakukan hal-hal yang merugikan lainnya.
Menurutnhya, dalam proses penagihan, debt collector diwajibkan membawa sejumlah dokumen seperti kartu identitas, surat tugas dari perusahaan pembiayaan, bukti dokumen debitur wanprestasi, salinan sertifikat jaminan fidusia, serta sertifikat di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi profesi di bidang pembiayaan yang terdaftar di OJK.
Seluruh dokumen tersebut digunakan untuk memperkuat aspek legalitas hukum dalam proses penagihan pinjaman, sehingga mencegah terjadinya dispute.
Baca Juga:
OJK dan FSS Korea Bahas Pengawasan Lintas Batas dan Kerja Sama Keuangan
“Jika tidak mau berhubungan dengan debt collector, agar konsumen taat pada isi kontrak dan hindari wanprestasi. Namun, jika ada debt collector yang melampaui batas dan melanggar hukum agar dilaporkan ke polisi terlebih jika melakukan pengancaman, pencemaran nama baik, dan lain-lain,” jelas, melansir Bisnis Indonesia, Sabtu (25/2/2023).
Kasus ini bermula dari sekelompok debt collector mengambil paksa mobil milik Clara Shinta di apartemen Casa Grande, Tebet, Jakarta Selatan pada Jumat (17/2/2023).
Berdasarkan unggahan video di akun Instagram @wargajakarta.id, Clara meminta agar para debt collector untuk menunggu pihak keluarga untuk mengecek keaslian surat yang dibawa oleh debt collector.