Ada proses persyaratan hukum yang harus dilakukan pemerintah sebelumnya, seperti mengirimkan surat peringatan kepada platform beserta bukti lengkap sebelum dilakukan take down.
"Di masing-masing platform ada legal officer. Kalau ada masalah hukum yang terkait dengan platform itu, harus ada surat pengantar yang sudah lengkap dengan barang bukti diajukan sebagai permintaan resmi dari pemerintah kepada terlapor, mereka bisa tolak atau terima. Jadi ngga serta merta tadi takut bener Kominfo bisa intip (aktivitas,chat) dan lainnya. Tidak sesederhana yang kita bayangkan," ungkapnya.
Baca Juga:
Kominfo Segera Luncurkan IKNPedia, Ini Isinya
Ardi mengungkap, di Indonesia sehari ada sekitar 350 aplikasi atau platform yang dinaikkan ke sistem elektronik. Hal ini disebut perlu dilakukan pendaftaran sebagai upaya perlindungan kepada masyarakat sebagai pengguna.
"350 Dalam sehari bayangkan seminggu sebulan. Bagaimana kita kendalikan, sedangkan masyarakat mengunduh. Memang ada aplikasi yang bermanfaat tapi ada juga aplikasi yang bodong, bodong mungkin tujuannya untuk mengambil data," paparnya.
Ia memandang persoalan PSE tak bisa hanya dipandang dalam hal sempit. Perlu juga melihat isu ini lebih luas dalam kacamata konsumen.
Baca Juga:
Mengenal SATRIA 1 dari Kominfo yang Segera Meluncur ke Seluruh Desa Indonesia
Marak sekali serangan siber seperti fenomena kebocoran data, ditengah pesatnya perkembangan teknologi. Maka diperlukan pendaftaran untuk mitigasi hal tersebut.
Ardi menekankan, dibalik serangan siber, kebocoran data juga dapat membuat trauma psikolog pengguna lantaran data miliknya yang bocor. Disamping tentunya ada juga dampak yang didapatkan oleh PSE. Hal tersebut juga yang menjadi alasan perlunya pendaftaran PSE.
"Semua bentuk serangan siber tidak tunggal selalu ada dua atau tiga serangan yang dompleng serangan pertama. Serangan pertama itu kamuflase, serangan kedua tiga adalah serangan sebenarnya. Inilah gambaran kenapa perlu PSE," kata Ardi.