Artinya, yang dibutuhkan adalah frekuensi penerbangan yang tinggi dengan harga terjangkau, bukan armada besar berkapasitas jumbo.
"Yang dibutuhkan itu penerbangan murah dan frekuensi yang banyak," jelasnya.
Baca Juga:
Pesawat Garuda dan Citilink Tak Bisa Terbang karena Telat Maintenance, Disorot Danantara
Faktor lain yang menjadi sorotan adalah harga avtur (aviation turbine fuel) di Indonesia yang dinilai masih lebih mahal dibandingkan negara tetangga seperti Singapura. Hal ini memengaruhi harga tiket yang pada akhirnya turut menentukan minat kunjungan wisatawan asing.
"Saya pernah tanya langsung kepada maskapai-maskapai internasional, mengapa mereka enggak buka penerbangan ke Indonesia tapi malah ke Singapura, jawabannya karena avtur kita lebih mahal," ungkapnya.
Azril juga menyinggung belum siapnya Indonesia dalam mengadopsi avtur ramah lingkungan atau Sustainable Aviation Fuel (SAF), yang sudah mulai diberlakukan oleh International Air Transport Association (IATA).
Baca Juga:
Usai Insiden Salah Tangkap, Garuda Indonesia Temui Ketua NasDem Sumut untuk Sampaikan Permohonan Maaf
Sementara Singapura telah melangkah lebih dulu, Indonesia masih tertinggal pada tahap penelitian bioavtur, padahal bahan bakunya seperti inti sawit sangat melimpah di dalam negeri.
"Nggak realistis kalau untuk pariwisata. Belum sustainable avtur, apalagi Garuda merugi," ujar Azril.
IATA sendiri menargetkan penggunaan SAF 100 persen pada seluruh maskapai dunia mulai 2050. Jika Indonesia tidak segera berbenah, izin rute penerbangan bisa terancam dicabut karena tidak memenuhi standar keberlanjutan internasional.