WahanaNews.co | Sebuah studi membuktikan bahwa meskipun ada tekanan kuat dari investor dan konsumen pada perusahaan untuk melakukan divestasi dari Rusia, tapi faktanya hanya sebagian kecil yang keluar dari Moskow.
Proses yang lambat untuk kabur dari Rusia, menimbulkan keraguan tentang seberapa serius beberapa perusahaan untuk pergi.
Baca Juga:
Masuk Radar Strategis, Biak Jadi Incaran Negara Asing untuk Kepentingan Militer
Melansir Sindonews, menyusul pecahnya perang Rusia Ukraina pada Februari 2022 tahun lalu, banyak perusahaan multinasional terpaksa memikirkan kembali hubungan mereka dengan Moskow.
Sembilan bulan kemudian, hanya 8,5% perusahaan yang berkantor pusat di Uni Eropa atau G-7 -yang anggotanya adalah Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan A.S- telah mendivestasi setidaknya satu anak perusahaan Rusia mereka.
Hal itu disampaikan oleh Simon Evenett, seorang profesor di Universitas St. Gallen, dan Niccolò Pisani, seorang profesor di IMD Business School.
Baca Juga:
Rusia Ngamuk! 189 Drone Hancur, Su-27 Jatuh, dan Ratusan Tentara Ukraina Tewas Seketika
Dalam studi tersebut diakui bahwa keluar dari Rusia menjadi sesuatu yang rumit serta memakan waktu cukup lama. Kemungkinan persentasenya bakal meningkat, mengingat perusahaan telah mengumumkan niat mereka untuk menindaklanjuti keinginanan meninggalkan Moskow.
Tetapi mereka memperingatkan bahwa jika perusahaan-perusahaan Barat yang keluar tidak meningkat secara signifikan dalam satu atau dua tahun mendatang. "Hal itu akan mempertanyakan kesediaan atau kemampuan banyak perusahaan Barat untuk memisahkan diri dari yurisdiksi yang oleh pemerintah mereka dianggap sebagai saingan geopolitik," bebernya.
Para peneliti di University of St. Gallen dan institut IMD di Lausanne telah menyelidiki berapa banyak perusahaan yang berbasis di Uni Eropa dan negara-negara G7 yang benar-benar telah melepaskan diri dari Rusia sejak invasi skala penuhnya ke Ukraina dimulai Februari lalu.