WahanaNews.co | Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) buka suara terkait kisruh proyek Meikarta yang melibatkan pihak pengembang dan konsumen.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai, masalah yang terjadi pada proyek Meikarta merupakan dampak dari kebijakan diperbolehkannya pre-project selling. Dalam hal ini, pengembang dapat memasarkan dan menjual produknya ketika produknya belum ada atau sebelum proyeknya berlangsung. Di sisi lain, konsumen sudah harus melakukan pembayaran produk tersebut.
Baca Juga:
Buka Layanan di Meikarta, Imigrasi Bekasi Siap Layani 2000 Pemohon Paspor Kolektif Selama Sepekan
Pre-project selling ini berisiko tinggi bagi konsumen dan terlalu menguntungkan bagi pihak pengembang,” kata dia, Selasa (13/12).
Lantas, sejak awal kemunculan proyek Meikarta ke publik, YLKI sudah mengingatkan konsumen agar berhati-hati dengan pemasaran Meikarta yang cukup jor-joran. Terlebih lagi, pemerintah dinilai masih lemah dalam mengawasi proyek tersebut. Pemerintah dianggap hanya memberi izin lokasi saja kepada Meikarta, setelah itu nyaris tak ada pengawasan berarti.
Oleh karena itu, YLKI berharap regulasi terkait pre-project selling untuk sektor properti ditinjau kembali. Sebab dalam praktiknya, kebijakan tersebut kerap merugikan konsumen.
Baca Juga:
Hak 131 Konsumen Meikarta yang ke DPR Terpenuhi
“Pasal yang melegalkan pre-project selling di dalam undang-undang perumahan harus dibatalkan,” tegas Tulus.
Sebagaimana yang diketahui, proyek Meikarta kembali mendapat sorotan. Hal ini lantaran banyaknya konsumen yang tak kunjung mendapat unit di Meikarta tanpa kejelasan pasti kapan proyek tersebut selesai.
Aep Mulyana, Ketua Komunitas Peduli Konsumen Meikarta mengatakan, pihak Meikarta telah melakukan wanprestasi serah terima unit, karena telah melewati batas waktu grace period serah terima.
“Mereka (Meikarta) juga melakukan perubahan kesepakatan secara sepihak untuk beberapa hal,” ujar dia, Selasa (13/12).
Meikarta sempat mengklaim telah melakukan serah terima unit sebanyak 1.800 unit per Desember 2022. Tetapi, banyak konsumen yang mengeluh karena unit yang diterima tidak sempurna atau tidak sesuai dengan apa yang telah dijanjikan sebelumnya. Para konsumen juga mengeluhkan Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) di Meikarta yang terlampau tinggi dan tidak sesuai dengan kegiatan pemasaran terdahulu.
Aep pun menilai, jumlah unit yang diserahterimakan oleh Meikarta masih terlalu kecil, mengingat pengembang tersebut menargetkan akan membangun 250.000 unit.
Ditambah lagi, konsumen masih terus diwajibkan membayar cicilan tanpa ada kepastian untuk memperoleh hak sebagaimana mestinya. “Alhasil, banyak dari kami yang tidak bisa memenuhi kebutuhan yang lebih utama,” tukas dia.
Sementara itu, dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (8/12) lalu, Manajemen PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) menyebut bahwa berdasarkan Putusan Homologasi, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku anak usaha LPCK dan pengembang Meikarta akan melakukan penyerahan unit secara bertahap sampai tahun 2027. Sejak Maret 2021 hingga saat ini, MSU telah menyerahkan sekitar 1.800 unit Meikarta kepada pembeli.
“MSU tetap berkomitmen untuk menyerahkan unit secara bertahap sampai batas waktu yang ditetapkan dalam Putusan Homologasi,” tulis Veronika Sitepu, Corporate Secretary Lippo Cikarang.
Dia juga menjelaskan, saat ini proyek Meikarta sedang dalam tahap pengembangan District 1, District 2, dan District 3. Sebanyak 28 tower sudah pada tahap penyelesaian akhir pembangunan, sedangkan 8 tower lainnya sudah dilakukan topping off dan sedang dalam tahap penyelesaian façade.
Lippo Cikarang juga mengklarifikasi terkait adanya isu mengenai penawaran relokasi berbayar kepada konsumen Meikarta. Veronika pun menyebut bahwa berdasarkan informasi yang diterima dari MSU, relokasi berbayar merupakan opsi yang ditawarkan kepada pembeli yang bersedia dan ingin mendapatkan unit yang sudah tersedia atau bisa tersedia lebih awal. [eta]