Dengan kata lain, peringatan dari UNESCO ini telah diabaikan oleh pemerintah.
Kedua, PUKIS meminta kenaikan tarif tidak hanya ditunda, tetapi juga dievaluasi kembali nilai kenaikannya.
Baca Juga:
5 Objek Wisata Indonesia yang Jadi Lokasi Syuting Drakor, Ada Pulau Komodo!
“Kenaikan tarif dilakukan secara mendadak dengan besaran yang luar biasa”, kata Gibran.
Kenaikan tarif yang mencapai 25 kali lipat bagi wisman dan 50 kali lipat bagi wisnus ini berpotensi menimbulkan diskriminasi dan ekslusivisme pariwisata. Padahal, menurut BPS, rata-rata upah pekerja di Indonesia hanya sebesar Rp 2.892.537 per bulan.
“Jadi, pembangunan untuk siapa? Jangan sampai pengembangan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Labuan Bajo justru meminggirkan masyarakat dan wisatawan lokal, padahal pembangunan infrastrukturnya banyak menggunakan uang rakyat (APBN)”, kata Gibran.
Baca Juga:
Kapal Wisata Karam di Perairan Labuan Bajo, Semua Penumpang Selamat
PUKIS mengingatkan, organisasi pariwisata dunia, UNWTO, menyatakan bahwa pariwisata yang berkelanjutan harus memberikan manfaat sosial-ekonomi yang adil kepada seluruh pemangku kepentingan, terutama masyarakat lokal.
Ketiga, PUKIS mempertanyakan alasan kelestarian ekosistem yang selalu digaungkan pemerintah. PUKIS membantah klaim ini karena Presiden Jokowi sendiri telah menargetkan jumlah kunjungan 1,5 juta orang per tahun di DPSP Labuan Bajo.
Target ini lebih besar enam kali lipat dibandingkan jumlah kunjungan pada tahun 2019 yang sebesar 256.000 orang berdasarkan data Kemenparekraf.