Sementara itu utang negara di era Jokowi menjadi perhatian publik setelah total pinjaman Indonesia mencapai Rp 9.138 triliun yang menurut banyak pihak dianggap mengkhawatirkan karena lonjakannya seperti meteor dan menimbulkan pertanyaan apakah negara mampu membayarnya di masa mendatang.
Meski demikian Purbaya menyatakan utang sebesar itu masih dalam zona aman karena hanya setara dengan 39,86 persen Produk Domestik Bruto dan menurutnya ukuran keamanan utang tidak hanya dilihat dari nominalnya tetapi harus dibandingkan dengan kapasitas ekonomi nasional.
Baca Juga:
Sriwijaya Capital Resmi Diluncurkan, Arsjad Rasjid Gandeng Mitra Strategis Timur Tengah
"Ini kan masih di bawah 39 persen dari PDB kan jadi dari skandal ukuran internasional itu masih aman," ujarnya saat Media Gathering di Bogor pada Sabtu (11/10/2025) sembari menegaskan bahwa pemerintah melakukan utang secara terukur dan hati-hati.
Menurut dia pemerintah berupaya memastikan utang digunakan secara efektif dengan mengurangi penerbitan pinjaman baru dan lebih memaksimalkan efektivitas belanja negara agar tidak menciptakan sentimen negatif yang bisa mengganggu persepsi pasar terhadap perekonomian nasional.
"Ke depan kita akan cepat coba kontrol belanja pemerintah kita supaya lebih baik sehingga yang nggak perlu-perlu saya bisa mulai potong," tegas Purbaya menegaskan komitmen efisiensi anggaran negara.
Baca Juga:
Limbah Jagung Kini Jadi Cuan: Petani Tuban Diuntungkan Program Energi Bersih PLN
Sebelumnya Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah hingga akhir Juni 2025 tembus Rp 9.138 triliun terdiri dari pinjaman Rp 1.157 triliun dengan rincian pinjaman luar negeri Rp 1.108,17 triliun dan pinjaman dalam negeri Rp 49,01 triliun serta Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 7.980,87 triliun yang didominasi denominasi rupiah.
Di sisi lain membengkaknya utang proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung atau Whoosh yang dikelola PT Kereta Cepat Indonesia China menjadi polemik baru karena dinilai berpotensi menjadi bom waktu bagi keuangan negara jika tidak dikelola secara tepat.
Proyek yang mulai beroperasi sejak 2 Oktober 2023 ini mengalami pembengkakan biaya atau cost overrun sebesar 1,2 miliar dolar AS setara Rp 19,54 triliun yang kemudian ditutup melalui pinjaman dari China Development Bank sebesar 230,99 juta dolar AS dan 1,54 miliar renminbi dengan total sekitar Rp 6,98 triliun.