WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia kembali menjadi sorotan sepanjang tahun 2024.
Berbagai masalah mencuat, mulai dari penurunan kapasitas produksi pabrik, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga penutupan sejumlah pabrik.
Baca Juga:
PT Asdal Diduga Melakukan PHK Sepihak terhadap Karyawan
Namun, situasi ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak tahun 2022, sektor ini telah berkali-kali terpuruk, meskipun sempat bangkit lagi.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengatakan bahwa industri TPT nasional kini memasuki fase ketiga deindustrialisasi.
"Tahun 2001 terjadi (deindustrialisasi) karena krisis. Lalu periode 2012-2014 efek FTA (free trade agreement/perjanjian perdagangan bebas) dengan China. Lalu tahun 2022-2024 imbas pandemi Covid-19, geopolitik global, hingga oversupply China," katanya, melansir CNBC Indonesia, Rabu (25/12/2024).
Baca Juga:
Gawat! Korban PHK di Indonesia Tembus 64 Ribu, 3 Sektor Utama Paling Terdampak
Pernyataan ini juga sejalan dengan yang disampaikan Deputi III Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Edy Priyono, dalam Seminar Nasional - Evaluasi 1 Dekade Pemerintahan Jokowi yang ditayangkan di kanal YouTube INDEF.
"Memang ada gejala deindustrialisasi dini," katanya, Kamis (3/10/2024). Edy menjelaskan, kondisi ini terjadi ketika sektor industri pengolahan (manufaktur) tak lagi menjadi motor penggerak utama ekonomi Indonesia, ditandai dengan penurunan kontribusi terhadap PDB nasional.
"Selama 10 tahun pemerintahan, pertumbuhan industri manufaktur selalu di bawah pertumbuhan ekonomi. Sehingga, kontribusi manufaktur terus menurun hingga pada tahun 2023 hanya 18,67%," ujarnya.