Kementerian ESDM juga tengah mendorong percepatan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Beleid yang merupakan petunjuk teknis dari program pembatasan konsumsi BBM bersubsidi itu yang sebelumnya ditargetkan rampung pada bulan Agustus ini.
Lebih jauh Arifin menjelaskan pemerintah terus mengkaji situasi riil konsumsi BBM bersubsidi. Hal ini dilakukan sembari menghitung potensi penambahan kuota bahan bakar pada akhir tahun ini.
Baca Juga:
Pemprov Sulteng Dukung Penguatan Ketahanan Pangan Nasional, Jadi Lumbung Pangan Utama
PT Pertamina Patra Niaga sebelumnya menghitung permintaan untuk JBT solar mencapai 17,2 juta kiloliter dan JBKP Pertalite di angka 28,4 juta kiloliter.
Sementara kuota tersedia untuk JBT solar hanya berada di angka 14,9 juta kiloliter dan JBKP Pertalite sekitar 23,05 juta kiloliter. Dengan begitu, ada kesenjangan ketersediaan kuota yang cukup lebar hingga 7,65 kiloliter pada paruh kedua tahun ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya kembali meminta agar PT Pertamina (Persero) bisa mengendalikan volume penyaluran BBM bersubsidi. Dengan begitu, postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa tetap terjaga.
Baca Juga:
Kinerja Pendapatan Negara Tahun 2024 Masih Terkendali, Menkeu: Ada Kenaikan Dibanding Tahun 2023
"Tentu saya berharap Pertamina untuk betul-betul mengendalikan volumenya, jadi supaya APBN tidak terpukul," kata Sri Mulyani di Jakarta, Rabu, 10 Agustus 2022.
Dengan tak terkendalinya penjualan BBM bersubsidi, menurut dia, alokasi subsidi dan kompensasi energi dapat melebihi dari pagu anggaran APBN yang sebesar Rp 502 triliun pada tahun ini.
"Meskipun APBN-nya bagus, surplus sampai Juli, tapi tagihannya nanti kalau volumenya tidak terkendali akan semakin besar di semester dua," ucap Sri Mulyani. [rin]