WahanaNews.co | Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattove, mengungkapkan pemerintah perlu mempertimbangkan dua pilihan untuk menentukan kenaikan tarif listrik di atas 3.000 VA agar tidak memberatkan.
Opsi pertama, pemerintah dapat melakukan penyesuaian tarif sama dengan biaya pokok penyediaannya (BPP).
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Kenaikan ini mengacu pada harga keekonomian listrik, yaitu Rp 1.502 per kWh. "Selama ini kan pelanggan tadi menerima turut menikmati kompensasi karena adanya selisih dari BPP dengan harga jual, maka harus ada kenaikan," ujar Abra saat dihubungi pada Selasa malam, 24 Mei 2022.
Opsi kedua, kata Abra, pemerintah bisa tidak langsung menaikkan harga secara drastis ke level Rp 1.502 per Kwh. Kenaikan dapat dilakukan secara bertahap, tapi tetap mendekati atau di atas harga penetapan tarif sekarang.
Meski demikian, Abra melanjutkan, tarif listrik saat ini tidak terlalu jauh dengan harga keekonomian. Untuk pelanggan 3.000 VA, tarif listrik adalah Rp 1.445. Artinya, ada selisih Rp 57. "Hanya Rp 57, jadi sebenarnya kenaikannya relatif kecil juga," kata Abra.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Setelah menaikkan tarif listrik untuk pelanggan kelas tertentu, Abra meminta pemerintah konsisten mengevaluasi kebijakan pemberian subsidi energi yang berkeadilan. Khususnya untuk golongan bisnis dan industri besar. Musababnya selama ini, subsidi energi dipandang banyak dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas.
Sebelumnya, Sri Mulyani menyampaikan alasan pemerintah melakukan penyesuaian tarif listrik untuk pelanggan di atas 3.000 VA. Ini dilakukan untuk meningkatkan anggaran subsidi kompensasi energi.
Ia mengatakan, Kementerian Keuangan telah mendapat persetujuan DPR menambah belanja Rp 393 triliun. Dana Rp 350 triliun akan dikucurkan pada subsidi dan kompensasi energi.