“Konsumen merasa tertipu, karena harga awal yang ditampilkan berbeda dengan total yang harus dibayar. Ini tentu menimbulkan ketidakpercayaan dan membuat loyalitas konsumen menurun,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya menjaga brand trust dalam dunia bisnis digital. Jika kepercayaan konsumen rusak, maka keberlangsungan usaha akan terganggu.
Baca Juga:
Menjelajahi Otak Konsumen di Dunia Mode Masa Depan
“Ketika konsumen merasa dirugikan, mereka cenderung tidak melakukan pembelian ulang dan bahkan berhenti merekomendasikan platform tersebut ke orang lain. Ini tentu berbahaya bagi keberlangsungan usaha digital,” tambahnya.
Dari sisi regulasi, Indonesia sebenarnya sudah memiliki payung hukum yang mendukung transparansi harga. Selain UUPK, ada juga PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, UU Nomor 1 Tahun 2024 sebagai revisi UU ITE, dan Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 yang mengatur sektor jasa keuangan.
“Semua regulasi tersebut mengatur secara eksplisit bahwa pelaku usaha wajib menyampaikan informasi yang jelas dan tidak menyesatkan. Bahkan, POJK mengharuskan pemberitahuan 30 hari sebelumnya jika ada perubahan biaya,” paparnya.
Baca Juga:
Kemendag Tegaskan Komitmen Lindungi Konsumen dalam Layanan Paylater di Platform Niaga-El
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa rencana menghapus total biaya lain-lain harus dikaji matang.
Meskipun sejalan dengan semangat perlindungan konsumen, langkah ini juga membawa risiko baru dari sisi pelaku usaha.
“Platform digital seperti e-commerce, ride-hailing, dan fintech memiliki struktur biaya operasional yang kompleks. Selama ini, biaya lain-lain menjadi salah satu penopang layanan. Jika dihapus, ada kemungkinan mereka menyiasatinya dengan menaikkan harga produk, mengarahkan konsumen ke layanan premium, atau memasukkan iklan berlebihan,” ungkapnya.