WahanaNews.co | Belakangan ini, berita tentang prestasi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam melunasi utang International Monetary Fund (IMF) telah jadi perhatian publik.
Pada tahun 2006, beban utang tersebut berhasil diselesaikan berkat pelunasan utang yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Baca Juga:
China Serukan Reformasi Kuota IMF
Berdasarkan laporan dari detikcom (9 Februari 2006), Sri Mulyani pertama kali mengusulkan gagasan pelunasan utang kepada IMF dalam rapat dengan Komisi IX di Gedung DPR RI pada bulan Februari 2006.
Sebagai Menteri Keuangan yang ke-26, Sri Mulyani ingin Indonesia melunasi utang sebesar lebih dari 8 miliar dolar AS lebih cepat dari jatuh tempo pada tahun 2010. Ia berpendapat bahwa pada saat itu, Indonesia sudah memiliki dasar-dasar ekonomi yang kuat.
Dasar-dasar tersebut meliputi cadangan devisa yang mencukupi, kinerja neraca pembayaran Indonesia yang baik, perkembangan moneter yang positif, dan stabilitas nilai mata uang dalam jangka waktu yang akan datang (arsip detikcom, 5 September 2006).
Baca Juga:
Uni Emirat Arab Keluar dari 'Daftar Abu-abu' FATF Setelah Reformasi Sukses
Melihat pencapaian ini, pemerintah merasa wajar jika Indonesia mampu melunasi utang IMF lebih cepat. Terlebih lagi, pelunasan utang juga dianggap sebagai masalah kepercayaan, bukan hanya masalah ekonomi semata.
Dengan kemampuan untuk melunasi utang lebih cepat, Indonesia dapat dipandang oleh dunia internasional sebagai negara yang pulih setelah krisis pada tahun 1997-1998.
Namun demikian, pernyataan Sri Mulyani ini memicu pro dan kontra di kalangan berbagai pihak. Mereka yang mendukung kebijakan tersebut melihatnya sebagai langkah yang didasarkan pada kekuatan dasar-dasar ekonomi.
Di sisi lain, mereka yang menentang lebih berargumen dengan kekhawatiran akan dampak dari spekulasi jika pelunasan dilakukan lebih cepat dari tenggat waktu yang ditentukan (arsip detik.com, 3 Mei 2006).
Pada akhirnya, perdebatan tersebut berakhir ketika Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia benar-benar melunasi seluruh pinjaman beserta bunga pada akhir tahun 2006, lebih cepat dari tenggat waktu yang ditetapkan pada tahun 2010.
Sebagai gambaran, krisis keuangan Asia pada tahun 1997-1998 telah memberikan dampak yang signifikan bagi perekonomian Indonesia. Kenaikan harga kebutuhan pokok yang disertai dengan tingkat inflasi yang tinggi membuat Indonesia berada dalam situasi yang sulit.
Mengutip CNBC Indonesia, dalam tekanan yang kuat dari Amerika Serikat, Indonesia akhirnya terpaksa bergantung pada IMF. Menurut Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2009), Indonesia setuju untuk menerima bantuan dana sebesar 43 miliar dolar AS.
Bantuan dana tersebut terus berlangsung sejak tahun 1998. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh tim riset CNBC Indonesia, Indonesia terus menerima pinjaman secara bertahap.
Pada tanggal 25 Agustus 1998, IMF menyetujui pinjaman dalam bentuk Extended Fund Facility (EFF) sebesar 5,38 miliar Special Drawing Rights (SDR), tetapi yang dicairkan hanya sebesar 3,8 miliar SDR. Bahkan setelah krisis berakhir, IMF terus memberikan dana kepada Indonesia.
Pemberian bantuan tersebut bertujuan untuk membantu pemulihan ekonomi nasional. Namun, kita semua tahu bahwa seluruh bantuan tersebut gagal total.
Menurut catatan ekonom Agus Widarjono dalam bukunya yang berjudul Evaluasi Kritis Kinerja IMF dalam Krisis Asia (2003), akibat bantuan dari IMF, Indonesia malah mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar -13,3%, kredit macet mencapai 48,6%, dan nilai investasi menurun hingga -33%.
Bahkan pada tahun 1998, utang Indonesia mencapai angka yang sangat tinggi, yaitu sebesar 137,42 miliar dolar AS. Akibat kegagalan ini, Indonesia harus menanggung beban besar yang diwariskan dari satu era ke era berikutnya.
Namun, pada tahun 2006, beban utang tersebut akhirnya berhasil dituntaskan. [eta]