Tidak banyak disinggung di bangku sekolah sebelumnya, Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan EBT. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral potensi Energi Baru Terbarukan di Indonesia kurang lebih 417 GW.
Energi baru (angin) berpotensi dibangkitkan hingga 60,6 GW, tenaga air sebesar 75 GW, bioenergi sebesar 32,6 GW, tenaga surya sebesar 207,8 GW dan arus laut sebesar 25,4 GW.
Baca Juga:
PLN Pasok Energi Hijau pada Peringatan HUT ke-79 Pertambangan dan Energi
Ironisnya, dari total potensi sebesar 417 GW, yang telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik baru sebesar 9,5 GW atau sekitar 2,15% nya saja.
Peran serta masyarakat dibutuhkan, di samping upaya terus menerus dari pemerintah yang berkesinambungan untuk mencapai bauran EBT yang diinginkan.
Sebagai komitmen nasional dalam penurunan emisi, pemerintah meratifikasi Paris Agreement melalui UU Nomor 16 Tahun 2016 mengenai Pengesahan Paris Agreement to UNFCCC.
Baca Juga:
Kemenperin Dorong Pemanfaatan Hidrogen dalam Pengembangan Energi Terbarukan
Tak hanya itu, dikeluarkan pula Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang RAN-GRK dimana penurunan emisi sebesar 64,4 juta ton CO2 dicapai melalui pemanfaatan EBT 53%, penerapan efisiensi energi 20%, penggunaan bahan bakar fosil rendah karbon 13 %, dan pemanfaatan teknologi pembangkit bersih 9%.
Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional yang tercantum dalam PP Nomor 79 Tahun 2014 dan Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 mengenai Rencana Umum Energi Nasional yang menargetkan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan pada tahun 2025 sebesar 23% dan berlanjut hingga pada tahun 2025 mencapai 31%.
Kebijakan dari pemerintah tersebut menjelaskan bahwa perlu mengoptimalkan pemanfaatan energi baru, memaksimalkan penggunaan energi bersih, dan meminimalkan penggunaan minyak bumi.