Dalam hal ini, pemerintah merencanakan pengembangan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) secara masif karena sampai sekarang pemanfaatan dari energi surya sendiri masih tergolong rendah, hanya 153,5 MWp atau sebesar 0,07% saja. Jika dibandingkan dengan negara China kita masih kalah jauh.
Warga China sudah memproduksi panel surya di rumahnya sendiri dan banyak masyarakat China yang meng-install panel surya.
Baca Juga:
PLN Pasok Energi Hijau pada Peringatan HUT ke-79 Pertambangan dan Energi
Permintaan panel surya terutama di China terbilang besar karena LCOE atau Levelized Cost of Electricity panel surya relatif kompetitif terhadap bahan bakar fosil seperti batubara. Indonesia perlu belajar dari negara-negara yang sudah berhasil meningkatkan pemanfaatan PLTS seperti China dan Vietnam.
Strategi kebijakan yang ditetapkan oleh China adalah mekanisme penetapan harga pembangkit listrik. Keuntungannya juga adalah China dapat memproduksi sendiri panel dan mensosialisasikan dengan gencar kepada warganya terkait keuntungan-keuntungan menggunakan panel surya ini.
Beberapa warga China sudah banyak yang teredukasi dan sudah sadar akan energi transisi dengan salah satunya mendukung untuk menggunakan PLTS atap atau memanfaatkan energi surya untuk dijadikan energi listrik.
Baca Juga:
Kemenperin Dorong Pemanfaatan Hidrogen dalam Pengembangan Energi Terbarukan
Inilah tantangan bagi Indonesia yaitu masih kurangnya pemahaman dan kolaborasi bersama warga untuk pengembangan Energi Baru Terbarukan.
Stigma masyarakat masih menganggap Energi Baru Terbarukan mahal dan sulit untuk perawatannya. Untuk memecahkan stigma negatif yang beredar di masyarakat, pemerintah harus menciptakan sosialisasi serta komunikasi untuk setiap permasalahan.
Seluruh elemen yang ada di Indonesia harus berperan serta dalam pengembangan EBT terkhusus untuk rencana pemerintah menggencarkan pemasangan PLTS atap.