WahanaNews.co | Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengungkapkan, subsidi merupakan hal yang mutlak diberikan pada penggunaan energi, yang memang memenuhi syarat.
Pihaknya menyebut, energi baru dan terbarukan (EBT) haruslah menjadi energi yang paling banyak mendapatkan subsidi dari negara.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
"Kalau bicara subsidi energi maka yang paling berhak mendapatkannya adalah energi terbarukan," ungkap Ketua YLKI Tulus Abadi dalam media briefing, Kamis (19/5/2022).
Menurutnya, subsidi atau insentif terhadap energi terbarukan juga harus diatur dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang saat ini tengah diharmonisasi komisi VII DPR RI.
Dengan demikian, masyarakat dapat menikmati energi yang lebih bersih dan ekonomis.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Tulus menilai, penggunaan EBT perlu diprioritaskan dalam masa transisi energi bersih menuju net zero emission di tahun 2060 mendatang.
Sebab, penggunaan energi fosil yang saat ini masih banyak dimanfaatkan cenderung tinggi. Sehingga, RUU EBT dapat mengatur dan mengedepankan energi terbarukan agar bisa mengurangi emisi terhadap kerusakan alam.
Di samping itu, dia juga menyoroti bahwa pemberian subsidi tidak seharusnya diberikan pada energi yang merusak lingkungan seperti energi fosil.
"Energi fosil secara ekstrem seharusnya tidak diberikan subsidi, karena fosil itu bukan hanya merusak lingkungan. Sehingga, sebenarnya yang diberikan subsidi seharusnya energi terbarukan itu," imbuhnya.
Lebih lanjut, Tulus menuturkan bahwa saat ini transisi energi dibutuhkan menuju penggunaan energi baru dan terbarukan.
Namun, dia menggarisbawahi jangan sampai transisi energi justru menjadi sebuah upaya yang dapat mengurangi peran energi terbarukan itu sendiri.
"Pada prinsipnya energi apa pun, apakah fosil atau terbarukan harus mengantongi prinsip aksesibilitas, kualitas, dan afordabilitas," ujarnya.
Adapun prinsip aksesibilitas artinya negara harus menjamin ketersediaan sumber energi yang dapat digunakan masyarakat.
Selanjutnya, dari segi kualitas yakni bagaimana soal pelayanan pemerintah dalam menyediakan energi.
Terakhir, afordabilitas adalah ketetapan harga energi yang harus terjangkau oleh masyarakat.
"Jangan sampai kita mengalami denominasi karena harga energi yang tidak terjangkau. Masalah harga harus diatur dan jangan sampai diserahkan kepada mekanisme pasar. Oleh karena itu, produk energi harus diprioritaskan untuk kepentingan nasional," papar Tulus.
Co-founder Adidaya Initiative, Aji Said Iqbal Fajri menyampaikan hal senada terkait dengan pentingnya insentif bagi EBT.
Dia pun meminta agar komisi VII DPR serta pemangku kepentingan untuk meregulasikan insentif bagi penggunaan energi terbarukan.
Upaya ini dilakukan untuk mencapai target bauran energi baru dan terbarukan, sebesar 23 persen pada tahun 2025 sebagaimana tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Produk energi termasuk gas alam ataupun batu bara, menurut Tulus, sebaiknya jangan diekspor secara berlebihan. Artinya, semua kekayaan sumber energi yang dimiliki di Indonesia harus mementingkan kebutuhan di dalam negeri. [rin]