WahanaNews.co | Sejumlah tokoh menggugat
pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Komisi Pemilihan Umum ke Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta atas keputusan melanjutkan proses Pilkada
2020 di tengah pandemi
Covid-19. Sidang perdana gugatan tersebut digelar pada hari ini, Kamis (19/11/2020).
Para tokoh penggugat ialah Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas; wartawan senior dan aktivis HAM, Ati Nurbaiti; aktivis HAM dan
Direktur Yayasan Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro; pegiat hak atas kesehatan, Irma Hidayana; dan aktivis Elisa
Sutanudjaja. Mereka menunjuk Lokataru sebagai kuasa hukum.
Baca Juga:
Bawaslu Kota Gunungsitoli Buka Rekrutmen Panwaslucam di Pilkada 2024, Ini Syaratnya
"Mereka meminta hakim PTUN untuk menghukum pemerintah, DPR, dan KPU dengan menyatakan bahwa mereka telah
melakukan perbuatan melawan hukum," kata Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, dalam keterangannya, Kamis (19/11/2020).
Haris mengatakan, para penggugat menilai pemerintah, DPR, dan KPU telah
sengaja mengabaikan desakan dan saran yang disampaikan sejumlah ilmuwan,
lembaga, atau organisasi masyarakat yang kredibel yang meminta agar Pilkada
2020 ditunda. Seperti Ikatan
Dokter Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia Kota Makassar, Pengurus Besar
Nahdatul Ulama (PBNU), PP Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia.
Menurut Haris, para penggugat juga menganggap pemerintah, DPR, dan KPU
sengaja menempatkan dan membuat kesehatan dan keselamatan publik terancam.
Baca Juga:
KPU Bakal Tetap Pakai Sirekap di Pilkada 2024
"Dan telah lalai mempertimbangkan secara hati-hati dan memadai dalam
mengambil keputusan publik yakni melanjutkan proses pilkada di saat kondisi
darurat pandemi Covid-19 masih belum terlewati dan atau belum terkendali,"
ujar dia.
Para tergugat pun dianggap melanggar Pasal 10 Undang-undang Nomor 4 Tahun
1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
Pasal ini mengatur bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam upaya
penanggulangan wabah.
Kemudian Pasal 4 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang
menyebutkan bahwa perlindungan kesehatan masyarakat oleh pemerintah dilakukan
salah satunya melalui kekarantinaan kesehatan.
Ada juga Pasal 201A ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor I
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi
Undang-Undang.
Pasal 201A ayat (3) mengatur bahwa pilkada serentak dapat ditunda kembali
untuk kedua kalinya apabila situasi belum memungkinkan.
"Mereka juga meminta hakim PTUN untuk memerintahkan para tergugat
untuk menghentikan dan menunda proses Pilkada Serentak 2020 setidak-tidaknya
hingga situasi pandemi Covid-19 tertanggulangi dengan baik dan kondisi darurat
telah terlewati sebagaimana standar WHO," ujar Haris. [dhn]