WahanaNews.co | Proses pembayaran
ganti rugi lahan pada pembangunan Jalan Tol Depok-Antasari (Desari), yang sebetulnya
sudah dikonsinyasikan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, masih
menyisakan noda.
Hal itu tak lepas dari ulah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta
Selatan, yang disebutkan telah melecehkan putusan pengadilan dalam perkaranya
dengan salah satu pemilik aset.
Baca Juga:
Identifikasi 12 Korban Kecelakaan Km 58 Tol Japek Tuntas, Ini Daftar Namanya
Victor Sitanggang, kuasa hukum pemilik aset, melalui surat terbukanya
kepada media, Minggu (8/11/2020), menjelaskan, kasus ini sudah berjalan selama
6 tahun, dan hingga kini belum juga melahirkan kejelasan.
"Dulu, kita disuruh berperkara di pengadilan. Sekarang sudah selesai
sampai tingkat MA, telah inkracht,
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Tapi tidak juga selesai, dan BPN Jakarta
Selatan ternyata tidak menghargai putusan pengadilan," kata Victor.
Alkisah, tahun 2000, BPN Jakarta Selatan menerbitkan Sertifikat
Ajudikasi di atas tanah SHM Nomor 311 Cilandak Barat yang telah terbit sejak
1973. Bahkan, SHM 311 itu sudah sempat 3 kali dijadikan agunan utang, baik di
bank pemerintah maupun swasta, yang dilegalisir dan Roya oleh pihak BPN Jakarta
Selatan sendiri.
Baca Juga:
12 Kantong Jenazah Dibawa ke RSUD Buntut Kecelakaan Maut di Tol Cikampek Km 58
Lantas, ketika lahan tersebut terkena pembebasan untuk kepentingan Jalan
Tol Desari, BPN Jakarta Selatan menuduh ada sertifikat tumpang tindih di atas
tanah itu, dan meminta pemilik SHM 311 Cilandak Barat berperkara di pengadilan.
Perkara pun berjalan, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,
hingga Mahkamah Agung (MA). Ternyata, terbukti bahwa di atas lahan itu tidak
ada sertifikat tumpang tindih. Menurut Majelis Hakim, setelah melalui berbagai
tahap pembuktian, termasuk persidangan di lokasi, hanya ada satu sertifikat di
atas lahan itu, yakni SHM Nomor 311 Cilandak Barat.
Maka, menurut Victor, dapatlah disimpulkan bahwa Sertifikat Ajudikasi
tahun 2000 terbitan BPN Jakarta Selatan tadi adalah dokumen bodong.
"Itu cuma permainan oknum-oknum untuk mencari keuntungan di atas
tanah orang lain secara
licik, dengan cara menyuruh orang berdamai dan uang
pembayaran ganti rugi tersebut dibagi dengan sertifikat bodong,
padahal sudah ada putusan yang inkracht,"
tandas Victor.
"Mengapa kami berani menyatakan Sertifikat Ajudikasi tahun 2000
itu bodong? Sebab, konversi asal tanah selain berbeda letak gambar
situasi juga luas tanah yang beda serta batas-batasnya tidak memperlihatkan adanya tumpang
tindih," imbuh
Victor Sitanggang.
Lebih lanjut ia mengatakan, enam
tahun kliennya
jadi
korban perkara di pengadilan
karenaulah
BPN Jakarta Selatan.
"Berkelahi,bunuh-bunuhan perkara, habis-habisan di Pengadilan dan PTUN sampai Mahkamah Agung, harta
ludes menjual rumah, kini tinggal di kampung pinggiran, keluarga mereka
berantakan, semua akibat perbuatan yang tidak mereka lakukan," ujar Victor.
Penetapan Konsinyasi Pembayaran oleh PN Jakarta Selatanyang
dimintakan oleh Panitia Pembebasan Tanah/BPN Jalan Desari, adalah: "Dapat
dibayarkan jika telah ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap."
Kini, lanjut Victor, setelah
semua putusan itu ada, dan
sudah diserahkan juga salinannya kepada
BPN Jakarta Selatan, mereka
mengingkari penetapannya sendiri dan tidak menghargai putusan hukum Indonesia.
"Jujur,
klien saya itu
sebenarnya tidak rela tanah mereka dibebaskan Bina Marga buat bisnis jalan tol.
Tapi,
mereka terpaksa patuh, karena tanahnya telah masuk Peta Bidang 48 yang harus dibebaskan
untuk kepentingan umum,
sesuai UU Nomor
2 Tahun 2012.
"Mereka
rela melepaskan haknya bermusyawarah dengan P2T (panitia pembebasan tanah)
dengan harga palingmurah sesuai NJOP pajak yang mereka bayarkan sejak
tahun 1976.
"Dengan liciknya perangkat BPN, setelah semua dihitung harga luas tanah, harga luas
bangunan dan harga pohon pohon di halaman tanah SHM 311 Cilandak Barat, maka
harga dimusyawarahkan,
disepakati,
dan ditandatangani oleh pemilik SHM 311 dengan panitia, tanah segera
dikosongkan.
"Setelah
tanah dan bangunan dikosongkan, tiba tiba ada pemberitahuan kalau belum dapat
dibayarkan karena kata panitiaBPN ada tumpang tindih sertifikat.
"Akhirnya, pemilik
tanah yang sesungguhnya malah
terhina, jadi miskin.
Sementara lingkungan tempat asetnya itu saat ini jadi daerahmahal, mereka malah jadi "gelandangan"
yang terombang-ambing, terusir!" kisah Victor.
Ironisnya, tanah SHM 311
tersebut, yang pembayaran ganti ruginya belum tuntas tadi, telah diserahkan
oleh Bina Marga ke investor jalan tol, yaitu PT Citra Waspphutowa, dan di
atasnya kini sudah dibangun pusat bisnis, antara lain Pintu Gerbang Tol
Cilandak Barat, perkantoran, restoran, minimarket, dan masjid, yang semuanya
menggunakan arsitektur dan aksara bergaya China, Tiongkok.
"Agar masalah ini tidak
berlarut, menciptakan penderitaan rakyat, dan melahirkan efek negatif terhadap
pemerintahan Presiden Jokowi, Kementerian PUPR, Bina Marga, dan birokrasi di
tubuh BPN sendiri, juga tidak mempengaruhi situasi perpolitikan nasional, kami
memohon semua pihak untuk memperhatikan dan menuntaskan kasus ini," pungkas
Victor. [qnt]