WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketegangan di Timur Tengah belum benar-benar reda meski gencatan senjata antara Iran dan Israel telah berjalan hampir seminggu.
Di balik kesepakatan itu, muncul kekhawatiran mendalam dari para analis di Teheran bahwa gelombang konflik baru bisa saja segera meledak.
Baca Juga:
Israel Kacau Usai Dirudal Iran, Warga Menjarah Mal dan Apartemen Mewah
Seyed Rahim Bathaei, jurnalis senior dan pakar politik Iran, menilai bahwa perang selama 12 hari yang menewaskan ribuan jiwa justru memperlihatkan sisi baru dari persatuan nasional di negaranya.
"Selama bertahun-tahun, masyarakat Iran terbelah: ada yang mendukung penguasa teokratis, ada yang tidak. Tapi kali ini, mereka bersatu," ungkap Bathaei.
1. Iran Adalah Negara Berperadaban Tua
Baca Juga:
Dukung Israel Diam-diam, 2 Negara Muslim Asia Ini Bersekutu di Balik Layar
Menurutnya, kekuatan utama Iran bukan hanya pada rudal atau kekuatan militer, tetapi pada identitas nasional yang telah terbangun selama ribuan tahun.
"Iran adalah negara kuno dengan peradaban kuno, lebih dari 5.000 tahun sejarah. Mereka berkata: 'Kami adalah bangsa. Kami memiliki identitas nasional. Jangan coba-coba menghancurkan harga diri kami,'" ujar Bathaei.
2. Perang Langsung Sudah Diprediksi Sejak Lama
Bagi Bathaei, konfrontasi langsung antara Iran dan Israel sudah lama diprediksi, meski selama ini lebih sering bertemu di medan perang melalui proksi.
"Iran punya komitmen kuat mendukung Palestina. Konfrontasi langsung itu sudah pasti terjadi, cuma tinggal menunggu waktunya," ucapnya.
3. Khamenei Jatuh, Iran Bisa Ikut Runtuh
Bathaei mengingatkan bahwa jika Israel dan AS berhasil menjatuhkan Ayatollah Ali Khamenei, dampaknya bisa sangat buruk tidak hanya bagi Iran, tetapi untuk seluruh kawasan.
"Itu akan jadi bencana. Kita sudah lihat di Libya, Suriah, dan Irak. Iran bisa berubah jadi negara gagal dan sumber terorisme baru," katanya.
4. Kegelapan Menanti Setelah Gencatan Senjata
Meski perang mereda, Bathaei justru pesimis. Berdasarkan pengalamannya sebagai jurnalis lebih dari 35 tahun, ia merasakan firasat bahwa yang terburuk belum lewat.
"Saya bukan peramal, tapi insting saya bilang kita sedang menuju hal-hal yang lebih gelap. Saya berharap saya salah," katanya lirih.
5. Keterlibatan Militer AS Picu Ketakutan Baru
Yang paling mengejutkan menurut Bathaei adalah ketika Presiden Donald Trump memerintahkan jet tempur Amerika ikut membombardir fasilitas nuklir Iran.
"Saya tidak mengira Trump akan sejauh itu. Saya rasa para pemimpin Iran juga tidak siap untuk serangan langsung seperti itu," ungkapnya.
Kini ia khawatir, AS bisa saja kembali menyerang jika tensi politik kembali meningkat.
6. Satu-satunya Jalan: Negosiasi Terbuka
Meski terkesan suram, Bathaei menegaskan bahwa jalan damai belum sepenuhnya tertutup. Ia menyarankan Iran dan AS duduk bersama secara terbuka, bukan melalui perantara.
"Mereka tidak berbicara langsung. Tapi jika politisi Iran datang ke AS, dan politisi AS ke sini, saya yakin banyak kesalahpahaman bisa dihapus," ujarnya.
"Saya tidak bilang mereka akan jadi sekutu, tapi perdamaian bukan hal yang mustahil."
Dengan suasana Timur Tengah yang rapuh dan penuh risiko, peringatan Bathaei tak bisa dianggap enteng. Ketegangan antara Iran, Israel, dan AS tetap menjadi bara dalam sekam, dan dunia harus waspada.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]