WahanaNews.co, Jakarta - Pejabat Departemen Keuangan Amerika Serikat mengancam akan mengambil tindakan tegas terhadap China.
Hal ini disebabkan karena 'Negeri Tirai Bambu' dinilai membanjiri dunia dengan barang-barang berharga murah, yang dinilai AS sebagai sesuatu yang tidak dapat dibiarkan.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
"Seluruh dunia akan merespons hal ini, dan mereka tidak melakukannya dengan cara baru yang anti-China, mereka merespons kebijakan China," kata Wakil Menteri Urusan Internasional, Jay Shambaugh, dikutip dari Financial Times, Rabu (21/2/2024).
China disebut melakukan dumping untuk menopang sektor industrinya yang mengalami stagnasi. Indeks manajer pembelian (PMI) bulan Januari yang dirilis oleh biro statistik China, menunjukkan adanya peningkatan produksi. Namun permintaan di sektor manufaktur tetap saja teredam.
Hanya sejumlah perusahaan besar yang memiliki kinerja baik dari bulan ke bulan.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
China diketahui menggelontorkan subsidi besar untuk sektor industri dibanding berbagai negara lain. Menurut sebuah laporan yang dirilis Center for Strategic and International Studies, China diperkirakan memberi subsidi sebanyak US$ 248 miliar atau Rp 3.882 triliun (kurs Rp 15.665) pada 2019. Dua kali lebih banyak dibandingkan AS.
Sejumlah pejabat di AS pun dikabarkan prihatin terhadap dominasi China di sektor kendaraan listrik dan panel surya. Sebab, China menguasai lebih dari 80% kapasitas produksi panel surya dunia dan menyumbang lebih dari 60% penjualan kendaraan listrik global pada 2022.
Keunggulan kompetitif China dinilai dapat mengancam kelangsungan industri-industri ini di AS. Padahal, Undang-Undang Pengurangan Inflasi yang ditandatangani oleh Presiden Joe Biden pada 2022 membuat AS menghabiskan lebih dari US$ 70 miliar atau Rp 1.095 triliun untuk rantai pasokan kendaraan listrik, dan lebih dari US$10 miliar atau Rp 156 triliun untuk mendorong produksi panel surya.
Walhasil pada Januari 2024, Jay Shambaugh disebut memimpin delegasi lima pejabat senior Departemen Keuangan AS ke China untuk membahas berbagai masalah.
Di antaranya, potensi kerja sama seperti perubahan iklim, serta subsidi China yang menurut AS akan menambah kelebihan produksi yang berpotensi membuat penjualan produk dengan harga lebih rendah (predatory dumping) menjadi strategi yang menggiurkan.
"Kami khawatir bahwa kebijakan dukungan industri dan kebijakan makro Tiongkok yang lebih berfokus pada pasokan dibandingkan memikirkan dari mana permintaan akan berasal, keduanya mengarah pada situasi di mana kelebihan kapasitas di Tiongkok akan berdampak pada pasar dunia," kata Shambaugh.
AS pun bukan satu-satunya pihak yang mengkhawatirkan hal itu. Pada Musim gugur lalu, Uni Eropa diketahui mengumumkan meluncurkan penyelidikan anti-subsidi terhadap melonjaknya impor kendaraan listrik China di Eropa.
Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen mengatakan harga kendaraan ini "dibuat tetap rendah" karena "subsidi negara yang besar" dari China.
Namun ketika ditanya tentang penyelidikan UE pada konferensi pers pada Selasa (20/2/2024), juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Mao Ning, menampik hal tersebut. Ia mengatakan perkembangan pesat dalam industri otomotif China telah menghasilkan produk-produk hemat biaya dan berkualitas tinggi bagi dunia.
"Setiap satu dari tiga mobil yang diekspor dari Tiongkok adalah sebuah mobil listrik, yang memberikan kontribusi signifikan terhadap transisi ramah lingkungan dan rendah karbon di dunia," pungkasnya.
[Redaktur: Sandy]