WahanaNews.co |
Saat ini, sayang-bayang eksekusi mati massal menghantui para anggota ISIS di
Irak. Rencana eksekusi mengerikan ini muncul setelah peristiwa serangan bom
bunuh diri di Baghdad. Para pembela HAM menuding eksekusi mati ini terkait
politik.
Baca Juga:
Otoritas Iran Tangkap 11 Tersangka Terkait Ledakan Bom yang Menewaskan 84 Orang
Pada hari Minggu (24/1) seorang pejabat kepresidenan Irak
mengatakan kepada AFP bahwa lebih dari 340 perintah eksekusi mati "untuk
tindakan terorisme atau kriminal" siap untuk dilaksanakan.
"Kami terus menandatangani lebih banyak," kata
pejabat yang enggan disebut namanya itu.
Dilansir dari AFP, Senin (25/1/2021), perintah itu
diungkapkan setelah dua serangan bom bunuh diri pekan lalu diklaim oleh
kelompok ISIS. Serangan bom itu menewaskan sedikitnya 32 orang di pasar
Baghdad.
Baca Juga:
ISIS Klaim Bertanggung Jawab atas Ledakan Bom Mematikan di Iran
Pejabat tersebut, bersama dengan sumber peradilan yang
dihubungi oleh AFP, tidak dapat memberikan rincian tambahan tentang kapan
eksekusi mati dapat dilakukan.
Undang-undang tahun 2005 di Irak menjatuhkan hukuman mati
bagi siapa pun yang dihukum karena "terorisme". UU itu mencakup
keanggotaan kelompok ekstremis meski mereka tidak dihukum atas tindakan
tertentu.
Eksekusi mati itu disebut kelompok hak asasi hanya sebagai
alasan politik.
"Para pemimpin menggunakan pengumuman eksekusi massal
hanya untuk memberi isyarat kepada publik bahwa mereka menanggapi (masalah ini)
dengan serius," kata Belkis Wille, peneliti senior krisis dan konflik di
kelompok HAM, Human Rights Watch.
"Hukuman mati digunakan sebagai alat politik lebih dari
apapun," katanya kepada AFP.
Hukuman Mati usai
ISIS Bunuh Warga Sipil
Pada pertengahan 2018, Perdana Menteri Haider al-Abadi
mengumumkan 13 eksekusi mati di bawah Undang-Undang Kontra-Teror, dan untuk
pertama kalinya, pihak berwenang menerbitkan foto-foto hukuman gantung. Hal itu
terjadi setelah ISIS membunuh delapan warga sipil.
Sejak deklarasi resmi kemenangan atas ISIS, pengadilan Irak
telah menjatuhkan hukuman mati kepada ratusan orang atas kejahatan yang
dilakukan selama serangan ISIS pada 2014. Saat itu ISIS menguasai sepertiga
wilayah Irak selama tiga tahun.
Tetapi hanya sedikit hukuman yang dilaksanakan, karena harus
disetujui oleh presiden.
Barham Saleh, yang menjabat sejak 2018, diketahui secara
pribadi menentang hukuman mati, dan telah menolak penandatanganan perintah
eksekusi di masa lalu.
Beberapa warga Irak ramai di media sosial menuntut tindakan
keras dari Saleh setelah serangan bom bunuh diri di Baghdad pekan lalu. Warga
Irak menuduhnya "tidak melaksanakan hukuman" dan mempertaruhkan
hukuman penjara.
Terlepas dari pengaruh Saleh yang moderat, Irak pada tahun
2019 melakukan jumlah eksekusi mati tertinggi keempat di antara negara-negara
di seluruh dunia, setelah China, Iran dan Arab Saudi, menurut Amnesty
International.
Sumber peradilan mengatakan kepada AFP setidaknya 30
eksekusi mati terjadi pada tahun 2020. Eksekusi mati itu termasuk terhadap 21
pria yang dihukum karena "terorisme" dan dieksekusi di penjara
Nasiriyah pada bulan November 2019.
Tindakan itu memicu kecaman dari Perserikatan Bangsa-Bangsa,
yang menyebut berita itu "sangat meresahkan" dan meminta Irak untuk
menghentikan eksekusi yang direncanakan lebih lanjut. [qnt]