WahanaNews.co
| Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan,
menyatakan pengunduran dirinya pada hari Minggu (25/4/2021), namun tetap
menjalankan sisa tugasnya, yakni meresmikan pemungutan suara parlemen yang akan
diadakan pada 20 Juni, dalam upaya untuk meredakan krisis politik yang
berlarut-larut.
Pashinyan
telah menghadapi seruan untuk mundur sejak penandatanganan perjanjian
perdamaian dengan Azerbaijan pada November 2020, yang ditengahi Rusia, sekaligus
mengakhiri perang antara dua musuh bebuyutan untuk menguasai wilayah
Nagorno-Karabakh yang disengketakan.
Baca Juga:
Gencatan Senjata Gagal Total, 80 Tentara Azerbaijan Jadi Mayat
"Saya
mengundurkan diri dari jabatan saya sebagai perdana menteri hari ini dan tetap
untuk mengadakan pemungutan suara pada 20 Juni," katanya, dalam sebuah
pengumuman yang disiarkan di halaman Facebook-nya.
Setelah
Pashinyan mengumumkan pengunduran dirinya, semua anggota kabinetnya menyerahkan
pengunduran diri mereka sendiri, seperti yang disyaratkan oleh hukum Armenia.
Pashinyan
mengatakan, dia akan terus memenuhi tugasnya sebagai kepala pemerintahan
sementara.
Baca Juga:
Perang Tanpa Pelindung Tubuh, Ribuan Tentara Armenia Jadi Mayat
Kekalahan
memalukan Armenia di tangan tentara Azerbaijan yang secara teknologi lebih
unggul memicu protes massa di republik bekas Soviet yang miskin di perbatasan
Turki dan Iran itu.
Negara
kecil Kaukasus, yang dilengkapi dengan peralatan militer "warisan"
era Soviet yang sudah tua, berjuang untuk mempertahankan wilayah yang telah
dikuasainya selama tiga dekade, ketika bentrokan meletus melawan tentara
Azerbaijan dengan persenjataan yang lebih baik di Nagorno-Karabakh pada bulan
September.
Setelah
pertempuran enam minggu yang merenggut sekitar 6.000 nyawa, perjanjian damai
memaksa Armenia untuk menyerahkan sebagian wilayahnya ke Azerbaijan.
Pashinyan
bersikeras dia menangani perang dengan benar, mengatakan dia tidak punya
pilihan selain setuju atau melihat pasukan negaranya menderita kerugian yang
lebih besar dan bahwa jajak pendapat adalah cara terbaik untuk mengakhiri
kebuntuan politik pasca perang.
Mantan
editor surat kabar berusia 45 tahun itu berkuasa sebagai ujung tombak protes
damai pada 2018 dan awalnya membawa gelombang optimisme ke Armenia. [dhn]