WahanaNews.co | "Kami tidak akan berpartisipasi di sejumlah pertemuan G20 jika orang-orang Rusia ada di sana." Ancaman itu dilontarkan Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen.
Tak puas telah berhasil menyingkirkan Rusia dari Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika terus menyuarakan agar Moskow juga dicopot dari keanggotan G20.
Baca Juga:
Prabowo Tegaskan Komitmen Indonesia pada Pembangunan Berkelanjutan dan Transisi Energi
"Ia (Presiden AS Joe Biden) meminta agar Rusia dicopot dari G20. Jadi Presiden Biden menjelaskan, dan saya tentu setuju dengannya, bahwa itu tidak bisa menjadi persoalan biasa di mana pun untuk Rusia di lembaga keuangan mana pun," ujar Yellen.
Menurut laporan The Week, Jumat (8/4/2022), ancaman AS itu belum berlaku untuk seluruh rangkaian G20, melainkan hanya acara terkait kementerian keuangan.
Seorang juru bicara menyatakan, ucapan Yellen mengacu pada pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral yang ditetapkan pada 20 April di Washington.
Baca Juga:
Prabowo Ungkap RI Pindahkan Ibu Kota Karena Naiknya Permukaan Laut Naik Tiap Tahun
Menteri keuangan G20 dan gubernur bank sentral bertemu beberapa kali dalam setahun, biasanya di negara tuan rumah yang bergiliran setiap tahun.
Sesi April direncanakan berlangsung di sela-sela pertemuan musim semi IMF-Bank Dunia di Washington.
Yellen juga diperkirakan akan menghadiri pertemuan menteri keuangan G20 pada April di Bali. sedangkan pertemuan puncak G20 Indonesia akan digelar pada pertengahan November 2022.
Saat ini, ada sejumlah diskusi dan forum yang digelar dalam Engagement Groups dan Working Groups.
Isu-isu yang dibahas ada yang fokus di ekonomi, seperti infrastruktur, perdagangan, dan energi, namun ada juga isu seperti forum kepemudaan, sains, parlemen, kelompok sipil, dan perkotaan.
Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva, menyatakan Presiden Rusia Vladimir Putin berminat untuk datang ke Indonesia demi menghadiri G20 di Bali.
Namun, Dubes Rusia belum bisa memberikan komitmen penuh karena masih banyak faktor-faktor yang harus dipertimbangkan.
Sementara itu, di dalam negeri, petisi menolak kehadiran Putin ke Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Indonesia beredar.
Petisi yang diprakarsai Milk Tea Alliance Indonesia di Change.org itu bertajuk
"Pak Jokowi, Jangan Datangkan Presiden Putin di Konferensi G20!".
Hingga pukul 15.45 WIB, Jumat (8/4/2022), petisi tersebut telah ditandatangani 20.406 orang, dari 25.000 tanda tangan yang ditargetkan.
"Vladimir Putin, Presiden Rusia, adalah yang paling bertanggung jawab dalam menyebabkan perang ini. Ia mengirimkan pasukan militer secara ilegal, sampai menyerang kawasan padat penduduk di rumah sakit bersalin di Ukraina!," tulis pembuat petisi tersebut.
"Untuk itu, lewat petisi ini, yuk kita sama-sama suarakan kepada Pak Jokowi dan Ibu Menlu Retno Marsudi, untuk tolak kedatangan Putin pada Konferensi G20 November nanti, kecuali dia benar-benar mau menyelesaikan konfliknya dengan Ukraina secara damai," ajak mereka.
Pengamat Hubungan Internasional Hikmahanto Juwana menilai sikap Amerika Serikat yang menancam tak hadiri KTT G20, sama sepeti meninggalkan Indonesia untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
"Sikap AS seolah memperlakukan Indonesia sama dengan Ukraina saat diserang oleh Rusia, ditinggalkan sendirian untuk memecahkan masalah," ujar Himahanto ketika dihubungi Liputan6.com.
Menurut Hikmahanto, Indonesia sebelumnya selalu menuruti kemauan Amerika Serikat. Padahal seperti Ukraina yang hendak bergabung dalam NATO, Indonesia sebelumnya telah menuruti kemauan AS dan sekutunya untuk berhadapan dengan Rusia.
Indonesia telah menjadi co-sponsor di mana AS menjadi sponsor utama atas Resolusi Majelis Umum PBB untuk mengutuk serangan Rusia. Hikmahanto menambahkan, tentu Indonesia layak dihukum oleh AS dan sekutunya bila suara Indonesia abstain, bahkan menentang Resolusi PBB yang mengutuk Rusia.
"Lebih lanjut sikap AS seolah tidak berempati dengan posisi Indonesia sebagai Tuan Rumah G20," ungkapnya.
Hal ini mengingat Indonesia telah melakukan berbagai persiapan, bahkan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan di tingkat teknis untuk membahas terobosan bagi tumbuhnya perekonomian dunia.
"Semua ini dimatikan karena medan perang antara Rusia dengan AS dan sekutunya telah dipindahkan dari Ukraina ke Indonesia," kata Hikmahanto.
Menurut dia, tidak seharusnya ego AS dan sekutunya terhadap Rusia dilampiaskan ke Indonesia yang sudah berani mengutuk Rusia atas serangannya.
Terlebih Indonesia berisiko untuk kehilangan sahabatnya dan dimasukkan dalam katagori negara-negara yang tidak bersahabat oleh Rusia.
"Indonesia masih memiliki ketergantungan dengan Rusia yang cukup signifikan mulai dari suku cadang pesawat tempur Shukoi hingga BBM yang telah disuling," jelasnya.
Bagi Indonesia, sambungnya, harapan terhadap AS dan sekutunya sangat sederhana.
"Pertama jangan pindahkan konflik dengan Rusia ke Forum G20. Tidak seharusnya pernyataan akan hadir atau tidak disampaikan pada saat ini dan digantungkan pada syarat hadir tidaknya Rusia. Biarkan semua mengalir pada saatnya," ujarnya.
Kedua, Indonesia tidak ingin ditekan dalam mengundang Rusia sebagai anggota G20.
"Bukannya tidak mungkin bila Indonesia mengikuti kehendak AS dan sekutunya maka Rusia akan mendapatkan dukungan dari China dan mungkin India. Dua negara ini akan bersikap untuk tidak hadir bila Rusia dihalangi untuk hadir," ungkapnya.
Padahal China dan India merupakan dua negara penting di G20 karena memiliki jumlah penduduk yang besar.
Ketiga, AS dan sekutunya terus mendukung Indonesia sebagai Presiden dan tuan rumah yang baik dalam pelaksanaan event G20 tahun ini.
"Indonesia tidak ingin masalah geopolitik di Eropa berimbas pada pembahasan perekonomian dunia di masa mendatang. Terlebih dijadikan medan untuk melanjutkan upaya menjatuhkan Putin sebagai Presiden Rusia," sambungnya.
Apa yang Harus Dilakukan Menlu RI? "Pertama saya apresiasi apa yang akan dilakukan Menlu Retno Marsudi," ujar Hikmahanto.
Menurutnya, karena kalau ujungnya nanti G20 gagal diselenggarakan bahkan bubar karena pertikaian AS dan sekutunya Vs Rusia, Indonesia sebagai presidensi sudah melakukan upaya dan ikhtiar.
"Ini jauh lebih baik ketimbang berharap waktu akan menyelesaikan pertikian dua kelompok," ungkapnya.
Menurut Hikmahanto, sejumlah hal yang harus dilakukan Menlu Retno adalah, "Pertama, memberi pemahaman kepada negara-negara pro AS bahwa yang diminta oleh Rusia adalah jaminan bahwa NATO tidak melakukan ekapansi terus ke Timur."
Kedua, lanjut dia, meminta agar negara Eropa untuk membuat jaminan tertulis bahwa mereka tidak akan menerima Ukraina sebagai anggota NATO.
Ketiga, bertemu lagi dengan Rusia membawa bekal inj dan meminta agar Rusia lakukan gencatan senjata.
Selanjutnya ke Ukraina, Indonesia meminta agar Presiden Volodymyr Zelenskyy tidak melakukan provokasi ke Rusia dan lebih mengedepankan rakyatnya.
"Karena provokasi terhadap Rusia akan meningkatkan agresivitas Rusia dan itu dilampiaskan dengan membuat rakyat Ukraina dalam situasi yang sulit," tutup Hikmahanto.
Terpisah, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Teuku Faizasyah kepada Liputan6.com melalui pesan singkatnya, menyampaikan harapan agar ancaman boikot Amerika tak berbuntut panjang hingga ke perhelatan inti G20 Indonesia yang digelar akhir tahun ini. "Semoga tidak berkepanjangan ya." [Tio]