WahanaNews.co
| Otoritas Turki marah dan menolak keputusan
Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, untuk secara resmi mengakui genosida
Armenia di bawah Kekaisaran Ottoman pada era Perang Dunia I silam.
Turki
menuduh AS berupaya menulis ulang sejarah.
Baca Juga:
Gencatan Senjata Gagal Total, 80 Tentara Azerbaijan Jadi Mayat
Seperti
dilansir AFP, Senin (26/4/2021), otoritas Turki memprotes keputusan AS
untuk memihak Armenia, Prancis, Jerman, Rusia dan berbagai negara soal
interpretasi mereka terkait peristiwa mengerikan yang terjadi selama Perang
Dunia I silam.
"Kata-kata
tidak bisa mengubah atau menulis ulang sejarah," cetus Menteri Luar Negeri
Turki, Mevlut Cavusoglu, dalam pernyataan via Twitter, beberapa saat
usai Biden mengumumkan keputusannya itu.
"Kita
tidak akan menerima pelajaran dari siapapun soal sejarah kita," tegasnya.
Baca Juga:
Perang Tanpa Pelindung Tubuh, Ribuan Tentara Armenia Jadi Mayat
Kementerian
Luar Negeri Turki kemudian memanggil Duta Besar AS, David Satterfield, untuk
menyampaikan keberatan atas keputusan AS tersebut.
Laporan
Anadolu News Agency menyatakan, Turki menekankan bahwa keputusan Biden
memicu "luka dalam hubungan yang sulit diperbaiki".
Biden
menjadi Presiden pertama AS yang menggunakan kata "genosida" dalam pernyataan
membahas peringatan soal pembantaian tahun 1915-1917 silam, yang terjadi saat
Kekaisaran Ottoman runtuh.
Berupaya
melunakkan dampak keputusannya terhadap Turki yang merupakan mitra strategis AS
di NATO, Biden menghubungi Presiden Recep Tayyip Erdogan pada Jumat (23/4/2021)
waktu setempat.
Dalam
percakapan telepon itu, Biden dan Erdogan sepakat bertemu di sela-sela
pertemuan NATO pada Juni mendatang.
Erdogan
secara hati-hati menyampaikan komentar soal keputusan AS itu.
Dalam
pesan kepada patriarki Armenia di Istanbul, Erdogan menuduh "pihak ketiga"
berupaya mempolitisasi isu yang menjadi perdebatan sejak lama.
"Tidak
ada yang diuntungkan dari perdebatan ini --yang seharusnya dilakukan oleh para
sejarawan-- dipolitisasi oleh pihak ketiga dan menjadi alat campur tangan di
negara kita," sebut Erdogan.
Dalam
pernyataan yang bernada lebih damai, Erdogan menyatakan Turki "siap
mengembangkan hubungan dengan Armenia didasarkan pada situasi yang baik dan
saling menghormati".
Namun,
pernyataan Kementerian Luar Negeri Turki memberikan reaksi lebih keras.
"Kami
menolak dan mengecam secara tegas pernyataan Presiden AS terkait peristiwa
tahun 1915 yang disampaikan di bahwa tekanan lingkaran Armenia radikal dan
kelompok anti-Turki," demikian pernyataan keras dari Kementerian Luar
Negeri Turki.
"Jelas
bahwa pernyataan yang disampaikan tidak memiliki dasar ilmiah dan hukum, juga
tidak didukung oleh bukti apapun," imbuh pernyataan tersebut.
Armenia,
yang didukung banyak sejarawan dan akademisi, menyatakan 1,5 juta rakyat mereka
tewas dalam genosida yang terjadi di bawah Kekaisaran Ottoman, yang saat itu
memerangi Tsar Rusia di area-area yang mencakup Armenia saat ini.
Turki
menerima bahwa baik orang Armenia dan Turki tewas dalam jumlah besar selama
Perang Dunia I, namun secara tegas menyangkal ada kebijakan genosida yang
disengaja --istilah yang saat itu belum didefinisikan secara hukum.
Turki
menyebut korban tewas di kalangan orang Armenia mencapai sekitar 300 ribu
orang. [qnt]