WahanaNews.co | Kuwait, yang notabene merupakan negara tetangga, menjadi sasaran invasi Irak, yang kala itu dipimpin oleh Presiden Saddam Hussein.
Tercatat, invasi tersebut berlangsung kurang dari setahun, yakni mulai 2 Agustus 1990 dan berakhir pada 28 Februari 1991.
Baca Juga:
Kelompok Proksi Iran Serang Israel, Bom Target Penting
Peristiwa itu kelak di kemudian hari dikenal sebagai Perang Teluk I.
Bermula dari sejak 18 Juli 1990, ketegangan kedua negara tersebut memanas.
Hal itu tak terlepas dari tuduhan Irak yang mengklaim bahwa Kuwait telah mencuri minyak dari ladang minyak di Rumalia serta melanggar batas wilayahnya.
Baca Juga:
Rudal Balistik Houthi Gempur Tel Aviv, Bantu Hizbullah Perangi Israel
Saddam Hussein yang pada masa itu menjadi pemimpin Irak menuntut ganti rugi sebesar US$ 2,4 miliar atau sebesar Rp 35 triliun dari Kuwait.
Sementara Kuwait mengatakan sebaliknya, bahwa Irak telah berusaha mengebor sumur minyak di wilayahnya.
Saling klaim inilah yang kemudian berkembang menjadi salah satu perselisihan yang paling kompleks di perbatasan kedua negara.
Hal itu juga yang terus menjadi pokok pertikaian sejak kemerdekaan Kuwait pada tahun 1961.
Selain konflik di perbatasan, Irak juga menuduh Kuwait membanjiri pasar dengan minyak sehingga membuat harga minyak mentah dunia anjlok.
Upaya Liga Arab dan Arab Saudi untuk menengahi penyelesaian krisis menjumpai kegagalan dan pembicaraan ditunda pada 1 Agustus 1990.
Hari Berdarah di Kuwait City
Meskipun masih berlangsung upaya melalui komunikasi, keesokan harinya pada tanggal 2 Agustus 1990 pasukan Irak langsung menyerang.
"Pasukan Irak pada jam 2 pagi waktu setempat mulai melanggar wilayah perbatasan utara kami, memasuki wilayah Kuwait dan menduduki posisi di Kuwait," demikian siaran berita oleh Radio Kuwait yang didokumentasikan dalam buletin beritanya.
Berita radio ini diiringi latar belakang suara musik patriotik dan seruan kepada warga Kuwait supaya "mempertahankan tanah, gurun dan bukit pasir mereka.”
Konflik bersenjata antara tentara Kuwait dan Irak pun pecah di Kuwait City.
Pasukan Kuwait yang kala itu hanya berkekuatan 16.000 orang bukan tandingan dari 100.000 pasukan Irak dengan 300 tank.
Pagi itu, ibu kota Kuwait jatuh ke genggaman Irak, dan Kepala Negara Kuwait, Sheikh Jaber al-Ahmad Al-Sabah, mengungsi ke Arab Saudi.
Bahkan, saudara lelakinya, yang bernama Fahd, ikut terbunuh saat pasukan Irak merebut istana.
Tanggapan Internasional
Komunitas internasional beramai-ramai mengecam peristiwa tersebut.
Harga minyak melambung di pasar internasional.
Dalam sebuah pertemuan darurat, Dewan Keamanan PBB menuntut agar seluruh pasukan Irak di Kuwait segera ditarik, tanpa syarat.
Washington pun membekukan aset Irak di AS dan anak perusahaannya di luar negeri, bersama dengan aset milik Kuwait guna mencegah kemungkinan Baghdad mengambil untung dari aset tersebut.
Bahkan Uni Soviet yang saat itu menjadi pemasok senjata utama ke Irak pun menghentikan pengirimannya.
Pada 6 Agustus 1990, Dewan Keamanan PBB memberlakukan sejumlah embargo, seperti di bidang perdagangan, keuangan, dan militer, terhadap Irak.
Dua hari berselang, Presiden AS, George HW Bush, mengumumkan bahwa negaranya akan mengirim pasukan ke Arab Saudi.
Operasi Badai Gurun
Pada 29 November 1990, Dewan Keamanan PBB mengizinkan penggunaan "semua sarana yang diperlukan" untuk memaksa Irak keluar dari Kuwait secara sukarela hingga 15 Januari 1991.
Namun, Baghdad menolak ultimatum tersebut.
Bertepatan pada 17 Januari, pasca seluruh inisiatif diplomatik gagal, AS memimpin “Operasi Badai Gurun” yang dimulai dengan pengeboman intensif di Irak dan Kuwait.
Pada 24 Februari 1991, Presiden George Bush mengumumkan dilangsungkannya serangan darat.
Selama berminggu-minggu, koalisi sejumlah negara yang dipimpin AS menempatkan lebih dari 900.000 tentara mereka di kawasan yang bertikai.
Sebagian besar pasukan ditempatkan di perbatasan Arab Saudi dan Irak.
Pasukan sekutu bergerak cepat dan dapat mencapai gencatan senjata dengan Irak hanya dalam waktu 100 jam.
Bush mengumumkan pembebasan Kuwait pada 27 Februari dan berakhirnya pertikaian pada hari berikutnya.
Irak kalah telak dan menerima semua resolusi PBB.
Namun nasi sudah jadi bubur, Kuwait terlanjur hancur, dijarah, dan setidaknya 750 sumur minyak telah terbakar.
Krisis ini berakibat pecahnya negara-negara Arab.
Tentara Mesir dan Suriah mengambil bagian dalam koalisi, tetapi dikecam oleh negara-negara Arab lainnya.
Lebih dari satu dekade kemudian, yaitu pada tahun 2003, Kuwait gantian berfungsi sebagai jembatan Perang Teluk II oleh pasukan Amerika Serikat dan Barat menyerbu ke Irak untuk kemudian menggulingkan Saddam Hussein.
Dalihnya, Washington menuding Baghdad tengah mengembangkan senjata pemusnah massal. [gun]