Selama beberapa dekade, warga Rohingya terus menderita kekerasan, penganiayaan, dan diskriminasi. Mereka menghadapi pembatasan dalam hak pendidikan, pekerjaan, perjalanan, praktik keagamaan, dan akses ke layanan kesehatan.
Sejak tahun 1970-an, serangkaian tindakan keras terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine telah memaksa ratusan ribu orang untuk mengungsi ke negara-negara tetangga seperti Bangladesh, Malaysia, Thailand, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Baca Juga:
Ratusan Pengungsi Rohingya Kembali Terdampar di Bireuen Aceh
Pada tanggal 25 Agustus 2017, pasukan keamanan Myanmar memulai serangkaian kekerasan sistematis terhadap penduduk Rohingya di wilayah utara Negara Bagian Rakhine, seperti yang dikutip oleh Save The Children.
Dalam jangka waktu dua minggu, hampir 300.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sebagai respons terhadap laporan yang mengejutkan mengenai pembunuhan massal yang melibatkan ratusan orang, termasuk anak-anak.
Sesaat setelahnya, 700.000 warga Rohingya, di mana setengahnya adalah anak-anak, melarikan diri dari Myanmar dan menuju Bangladesh.
Baca Juga:
Terombang-ambing di Laut Aceh, Pemerintah Siap Tampung Pengungsi Rohingya
Cox's Bazar, sebuah distrik di Bangladesh yang berdekatan dengan perbatasan Myanmar, menjadi penuh dengan pengungsi yang terpaksa tidur di lantai dan di jalan.
Keadaan pengungsi Rohingya semakin memprihatinkan karena kekurangan sumber makanan, air bersih, dan tempat tinggal yang layak.
Risiko eksploitasi, kekerasan, dan perdagangan manusia terus menghantui mereka.