Peningkatan tajam dalam jumlah pengungsi disebabkan oleh perselisihan etnis dan agama, yang dipicu oleh konflik yang lebih luas.
Selama periode lebih dari 100 tahun saat Inggris menguasai Burma, yang sekarang dikenal sebagai Myanmar (1824-1928), terjadi migrasi besar-besaran ke negara tersebut dari India dan Bangladesh.
Baca Juga:
Polres Subulussalam Berhasil Amankan Tiga Orang Terduga Pelaku TPPO Rohingya
Respon negatif terhadap migrasi pengungsi Rohingya muncul dari penduduk asli Myanmar.
Setelah Myanmar meraih kemerdekaan, migrasi yang terjadi selama pemerintahan Inggris dianggap ilegal, sehingga pemberian kewarganegaraan kepada Rohingya ditolak oleh pemerintah setempat, seperti yang dilaporkan oleh Al Jazeera.
Hal ini membuat sebagian besar umat Buddha mengidentifikasi Rohingya sebagai orang Bengali dan menolak menggunakan istilah "Rohingya" dengan alasan politis.
Baca Juga:
Pemerintah Aceh Barat: Tidak Bisa Catat Pernikahan Pasangan Rohingya
Sebentar setelah mencapai kemerdekaan pada tahun 1948, Myanmar mengesahkan undang-undang kewarganegaraan yang menolak memberikan kewarganegaraan kepada orang Rohingya, membuat mereka menjadi tanpa kewarganegaraan.
Undang-undang tersebut mengklasifikasikan kewarganegaraan menjadi tiga tingkatan, dengan persyaratan utama melibatkan memiliki bukti lahir di Myanmar sebelum tahun 1948 dan kefasihan dalam salah satu bahasa nasional.
Ketidakmampuan warga Rohingya untuk memenuhi persyaratan ini semakin memperburuk situasinya.