WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di tengah gemuruh dinamika geopolitik global, sebuah babak baru terbuka di langit Amerika Latin.
China, kekuatan besar dari Timur, resmi mengajukan tawaran penjualan dua skadron jet tempur mutakhir Chengdu J-10CE kepada Kolombia, langkah yang jauh dari sekadar transaksi senjata.
Baca Juga:
Status Kaldera Jangan Sampai Dicabut dari Kawasan Otorita Danau Toba, MARTABAT Prabowo-Gibran Desak Pemerintah Pusat dan Pemprov Sumut Segera Penuhi Peringatan Keras UNESCO
Tawaran ini datang saat kunjungan penting Presiden Kolombia, Gustavo Petro, ke Beijing.
Dalam pertemuan empat mata dengan Presiden Xi Jinping, diskusi antara kedua pemimpin mengalir ke arah yang tak hanya menyentuh isu perdagangan, tetapi juga menyelami wilayah sensitif: pertahanan strategis.
Dengan tawaran 24 unit J-10CE lengkap dengan skema pembiayaan fleksibel, China tampaknya tak hanya menjual teknologi, melainkan memproyeksikan pengaruhnya ke kawasan yang selama ini menjadi halaman belakang geopolitik Amerika Serikat.
Baca Juga:
Covid-19 Naik Tajam di Thailand, Kemenkes Ingatkan WNI Jangan Lengah
Kolombia, yang selama puluhan tahun mengandalkan jet tempur tua Kfir buatan Israel, kini menghadapi desakan waktu. Armada udaranya menua, dan kebutuhan akan modernisasi sistem pertahanan semakin mendesak.
"China sedang memainkan catur tiga dimensi. Menjual J-10CE ke Kolombia berarti menggeser poros kekuatan di Amerika Latin," ujar Kol. (Purn.) Ardi Nugroho, pengamat militer dan mantan atase pertahanan.
"Ini adalah soal sinyal strategis. Ya, Beijing ingin unjuk gigi bahwa mereka bisa menembus pagar pengaruh Washington."
Chengdu J-10CE sendiri bukan pesawat tempur sembarangan.
Jet ini adalah versi ekspor dari J-10C, tulang punggung kekuatan udara Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLAAF).
Dikenal sebagai pesawat generasi 4,5, J-10CE dirancang untuk menjadi penantang tangguh jet-jet tempur Barat seperti F-16 dan Saab Gripen.
Dengan desain aerodinamis sayap delta dan kanard, J-10CE memiliki kelincahan yang luar biasa dalam duel udara.
Ia mampu melesat hingga Mach 1,8 berkat mesin turbofan WS-10B buatan dalam negeri, atau opsi AL-31FN dari Rusia.
Strukturnya dilapisi material komposit ringan yang tak hanya menurunkan bobot tetapi juga menyulitkan deteksi radar, memberi keunggulan semi-siluman yang tak dimiliki banyak jet sekelasnya.
Namun daya gempur sejatinya terletak pada jantung digitalnya: radar AESA mutakhir yang diduga varian dari KLJ-10.
Radar ini sanggup mendeteksi dan melacak beberapa target sekaligus hingga jarak 170 km. Ditambah sensor inframerah IRST, J-10CE bisa berburu target dalam mode senyap, tanpa perlu memancarkan sinyal radar.
Dalam aspek persenjataan, J-10CE tak kalah mengintimidasi. Rudal PL-15E jarak jauh dan PL-10 jarak dekat menghuni tiang gantungan sayapnya.
Untuk menghantam sasaran darat, tersedia rudal antiradiasi YJ-91 dan bom luncur presisi LS-6.
Sistem peperangan elektronik di dalamnya memungkinkan gangguan sinyal radar musuh, serta kemampuan melepaskan sekam dan suar untuk mengelabui rudal yang masuk.
J-10CE bukan hanya pemukul udara, tapi juga pesawat yang tahu cara bertahan hidup di tengah badai pertempuran.
Dengan harga berkisar USD 40–50 juta per unit, J-10CE tampil sebagai pilihan kompetitif dibandingkan F-16 versi baru yang bisa menembus USD 70 juta per unit.
Namun di balik harga dan spesifikasi, tawaran ini lebih dari sekadar upaya ekspor.
Ini adalah pesan senyap dari Beijing: bahwa langit Amerika Latin kini menjadi bagian dari medan strategi global.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]