Dia menyerukan agar Rusia dan Amerika Serikat (AS) harus kembali ke prinsip "koeksistensi damai" seperti selama Perang Dingin, di mana ancaman perang nuklir menghantui relasi keduanya.
"Kami terbuka untuk dialog yang jujur dan saling menghormati sejauh Amerika Serikat siap untuk ini," katanya kepada Interfax sebagaimana dilansir Newsweek pada Selasa (8/3/2022).
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
"Mungkin ada baiknya mengingat kembali prinsip yang sudah lama terlupakan yang bekerja selama Perang Dingin—koeksistensi damai … dan nilai dan cita-cita yang memisahkan kita...tidak boleh dipaksakan satu sama lain," ujarnya.
Menurutnya, kedua negara harus memahami itu sebagai "tanggung jawab khusus Rusia dan AS atas nasib dunia sebagai negara adidaya nuklir".
Moskwa pun, kata dia, berharap “kenormalan” dalam hubungan antara dua negara akan kembali.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Darchiyev membela negaranya dengan mengatakan bahwa kerusakan hubungan antar negara yang terjadi saat ini "bukan taktik kami dan bukan gaya kami."
Dia mengecam AS, dan mengulangi pembenaran Kremlin untuk perang yang telah menjadi batu sandungan bagi para diplomat sebelum Vladimir Putin memerintahkan invasi.
Diplomat itu merujuk pada "tindakan permusuhan dan penghinaan arogan" AS atas tuntutan Rusia untuk jaminan keamanan yang mengikat secara hukum, tidak adanya senjata serang di dekat perbatasannya dan kembalinya kemampuan militer NATO seperti sebelum 1997.