WAHANANEWS.CO - Dalam kunjungan dinasnya ke Asia, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memastikan ia tidak akan bertemu dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Kabar itu dikonfirmasi Trump pada Jumat (31/10/2025), dengan alasan “gagal mengatur jadwal yang tepat.”
Sehari sebelum Trump tiba di Korea Selatan untuk menghadiri KTT APEC, Korea Utara melakukan uji coba rudal jelajah di lepas pantai baratnya.
Baca Juga:
Trump Puji Prabowo di KTT ASEAN–AS: Indonesia Berperan Besar dalam Perdamaian Timur Tengah
Padahal, awal pekan ini, Trump sempat menyatakan bahwa dirinya akan “senang sekali bertemu” Kim dan bahkan menawarkan diri untuk kembali mengunjungi Korea Utara.
Sekitar enam tahun lalu, Trump mencetak sejarah sebagai Presiden AS aktif pertama yang menginjakkan kaki di Korea Utara. Sepanjang masa jabatannya pada 2018–2019, ia bertemu Kim sebanyak tiga kali.
Namun kini, komunikasi antara kedua negara kembali dingin. Washington tetap berpegang pada tuntutan denuklirisasi total Semenanjung Korea, sedangkan Kim menolak dan menyebut hal itu sebagai “obsesi kosong” dari Barat.
Baca Juga:
Trump Ancam Cabut Dukungan AS Jika Israel Nekat Caplok Tepi Barat
Trump pun mengakui tantangan dalam menjalin kontak dengan Pyongyang. “Saya kira mereka sudah menjadi semacam kekuatan nuklir,” ujarnya pada 24 Oktober. “Mereka punya banyak senjata nuklir, tapi tidak banyak layanan telepon.”
Meski demikian, bulan lalu Kim secara mengejutkan menyatakan keinginannya untuk melanjutkan dialog dengan AS. Ia mengatakan masih memiliki “kenangan baik tentang Presiden Trump.”
Korea Selatan telah menangguhkan kunjungan wisata ke Panmunjom, desa gencatan senjata di zona demiliterisasi yang menjadi lokasi pertemuan Trump-Kim terakhir pada 2019.
Walaupun pertemuan kali ini batal, para analis menilai Amerika Serikat kemungkinan besar akan tetap membuka ruang diplomasi dengan Korea Utara.
Trump, yang sering memposisikan diri sebagai pembawa perdamaian dunia, disebut masih mengincar Nobel Perdamaian. Dalam perhentian pertamanya di Asia, ia sempat menghadiri penandatanganan perjanjian damai antara Thailand dan Kamboja di Malaysia pada awal pekan ini.
Pada Juli 2025, kedua negara itu sempat terlibat pertempuran terburuk dalam satu dekade, yang menewaskan puluhan orang. Setelahnya, Trump mengklaim telah “mengakhiri delapan perang dalam delapan bulan.”
“Saya tidak boleh menyebutnya sebagai hobi, karena ini jauh lebih serius, tetapi ini adalah sesuatu yang saya kuasai dan sukai,” kata Trump.
Menurut Kim Jae-chun, profesor hubungan internasional dari Universitas Sogang, dorongan untuk menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea tetap besar. “Akan ada upaya menormalisasi hubungan AS dan Korea Utara, bahkan mungkin menyelesaikan isu nuklir,” ujarnya.
Cho Han-beom, peneliti senior di Korean Institute for National Unification, menilai Korea Utara adalah “kepingan puzzle terakhir” dari stabilitas kawasan. Ia menilai, meski tidak terselesaikan sepenuhnya, upaya itu bisa menjadi jalan Trump menuju Nobel Perdamaian karena memperbaiki citra keamanan global.
Korea Utara kini tampil lebih percaya diri sejak pertemuan terakhir dengan Trump enam tahun lalu. “Rezim Korea Utara telah memasuki periode stabilitas,” ujar Kang In-deok, profesor Universitas Kyungnam sekaligus mantan Menteri Unifikasi Korea Selatan pada akhir 1990-an.
Pada September 2025, Kim Jong Un tampak menghadiri parade militer di China bersama Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pemimpin China Xi Jinping—penampilan publik pertama ketiganya secara bersamaan sejak 2019.
Korea Utara dan Rusia juga telah menandatangani perjanjian pertahanan bersama pada 2024. Mereka bersepakat untuk “segera memberikan bantuan militer dan bantuan lain dengan semua sarana yang tersedia” bila salah satu pihak diserang.
Pada Januari 2025, pejabat Barat melaporkan kepada BBC bahwa sekitar 11.000 tentara Korea Utara dikirim untuk membantu Rusia berperang di Ukraina, sebagai imbalan atas bantuan finansial dan teknologi.
Sementara itu, hubungan ekonomi Korea Utara dan China juga terus menguat. Data bea cukai China menunjukkan perdagangan antara kedua negara naik 33%, mencapai US$1,05 miliar pada paruh pertama 2025.
Analis menilai Beijing kini berusaha mendekat kembali ke Pyongyang setelah sempat menjaga jarak akibat kedekatan militer Korea Utara dengan Rusia. Dengan meningkatnya minat Washington dan Seoul untuk membuka dialog baru, China tampaknya ingin memastikan posisinya tetap strategis.
Profesor Kang menyebut, dalam tatanan geopolitik baru ini, pencabutan sanksi dari AS tidak lagi menjadi prioritas mendesak bagi Korea Utara seperti pada 2018 dan 2019.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]