WAHANANEWS.CO, Jakarta - Dalam persaingan global yang semakin panas, kehadiran dua jet tempur generasi kelima menjadi simbol pertarungan tak kasatmata antara strategi militer Barat dan Timur.
Di satu sisi ada F-35 Lightning II, tulang punggung kekuatan udara NATO, sementara di sisi lain berdiri Su-57 Felon, jawaban Rusia terhadap dominasi teknologi siluman Amerika. Siapa yang akan menguasai langit masa depan?
Baca Juga:
Indonesia Resmi Miliki Jet Tempur Siluman KAAN, Erdogan: Kerja Sama Bersejarah
Di abad ke-21, superioritas udara tak lagi ditentukan hanya oleh kecepatan atau daya hancur.
Kemenangan kini ditentukan oleh dominasi spektrum elektromagnetik, kemampuan mengintegrasikan data lintas domain, serta keterhubungan dalam operasi gabungan dan koalisi.
Dua jet tempur menjadi simbol utama dari era baru ini, masing-masing mewakili blok kekuatan yang bersaing dengan filosofi militer yang sangat kontras: F-35 Lightning II buatan Amerika dan Su-57 Felon buatan Rusia.
Baca Juga:
Gawat! Jet Tempur Rafale Gagal Total, Armenia Siap Beli Jet Super Sukhoi dari India
F-35 adalah hasil dari program pengembangan jet tempur paling mahal dan canggih milik Amerika Serikat.
Pesawat ini bukan hanya penyerang udara, tetapi juga merupakan pusat komando terbang yang menghubungkan aset darat, laut, udara, dan ruang angkasa dalam satu jaringan informasi waktu nyata.
Lebih dari sekadar pesawat, F-35 adalah platform intelijen dan penargetan bernilai strategis, dirancang untuk memimpin peperangan modern yang berbasis jaringan
Ia berfungsi sebagai "quarterback di langit", menyatukan data medan perang multispektral dan mendistribusikannya ke seluruh simpul tempur.
Kini beroperasi di lebih dari 17 negara sekutu, dengan lebih dari 980 unit telah dikirimkan secara global, F-35 telah menjadi simbol supremasi udara Barat dan jantung dari strategi interoperabilitas NATO.
“F-35 bukan hanya alat tempur, tetapi juga pusat digital yang membuat pasukan sekutu bisa bertindak secara terpadu dan serempak,” ujar Dr. David Deptula, pensiunan Letnan Jenderal Angkatan Udara AS dan arsitek doktrin udara modern Amerika. “Inilah jet yang mengubah wajah perang.”
Di pihak lain, Su-57 Felon yang dikembangkan Sukhoi sebagai bagian dari United Aircraft Corporation, adalah respons strategis Rusia terhadap dominasi udara Barat.
Meski memiliki fitur siluman terbatas, Su-57 lebih menonjol dalam hal kelincahan ekstrem, kendali vektor dorong, dan mesin ganda yang bertenaga.
Beroperasi terbatas sejak 2020, jet ini dibangun untuk bertahan di wilayah udara yang sengit tanpa dukungan jaringan ISR yang kuat seperti milik NATO.
Moskow merancang Su-57 untuk bertindak secara mandiri, menekankan kekuatan kinetik, kemampuan bertahan, dan serangan otonom.
“Su-57 mencerminkan pendekatan Rusia yang sangat berbeda. Mereka ingin jet tempurnya bertahan sendiri di udara tanpa bergantung pada jaringan,” kata Pavel Felgenhauer, analis militer senior di Moskow. “Ini pesawat yang dibangun untuk bertarung, bukan berkomunikasi.”
Hingga 2024, diperkirakan baru kurang dari 25 unit Su-57 yang beroperasi, dan produksi skala penuhnya masih jauh dari rampung.
Meski begitu, Su-57 tetap dirancang untuk menjadi penantang utama F-35 dan F-22, terutama di medan tempur strategis seperti Eropa Timur, Arktik, hingga kawasan Indo-Pasifik.
Perbedaan utama antara kedua pesawat ini terletak pada doktrin dan filosofi perangnya.
F-35 mencerminkan perang berbasis koalisi, dominasi sensor, dan transparansi medan tempur; sementara Su-57 mengedepankan keunggulan manuver, ketahanan terhadap gangguan elektronik, dan kemampuan bertempur secara independen.
Di tengah kondisi geopolitik yang semakin tidak menentu, dari perang Ukraina, militerisasi Laut Hitam, hingga ketegangan AS-Tiongkok di Laut Cina Selatan dan Selat Taiwan, dua jet tempur ini tak lagi sekadar alat perang, tetapi juga simbol nasionalisme dan proyeksi kekuatan global.
Asal Usul dan Pengembangan
F-35 Lightning II dikembangkan oleh Lockheed Martin dalam program Joint Strike Fighter (JSF), dengan tiga varian berbeda: F-35A untuk operasi konvensional, F-35B untuk lepas landas pendek dan pendaratan vertikal, dan F-35C untuk operasi kapal induk.
Pesawat ini resmi aktif sejak 2015, dan telah menyebar luas di berbagai belahan dunia sebagai bagian penting dari jaringan udara sekutu NATO.
Keunggulan F-35 tidak hanya terletak pada fitur silumannya, tetapi juga pada infrastruktur global di belakangnya, dari rantai pasokan industri hingga sistem pelacakan performa yang saling terhubung dalam doktrin udara NATO.
Su-57 Felon adalah hasil evolusi dari lini Su-27/Su-30 Flanker milik Rusia. Meski uji terbang pertamanya dilakukan pada 2010, pesawat ini baru mulai dioperasikan secara terbatas satu dekade kemudian.
Dengan kematangan teknologi yang belum sempurna dan produksi lamban, Su-57 mencerminkan usaha Rusia untuk mengejar supremasi udara generasi kelima meski dengan sumber daya terbatas.
Peran dan Doktrin Tempur
F-35 dirancang untuk menjadi penghubung utama dalam pertempuran jaringan modern, dari serangan penetrasi dalam, pengintaian, dominasi udara, hingga perang elektronik.
Dengan kemampuannya menggabungkan dan membagikan data secara real time ke seluruh platform tempur gabungan, ia menjadi tulang punggung dari sistem peperangan berbasis sensor dan data.
Sementara itu, Su-57 lebih difokuskan sebagai pesawat superioritas udara dengan kelincahan ekstrem dan rudal jarak jauh.
Alih-alih mengandalkan jaringan tempur yang luas, Su-57 berfokus pada dominasi lokal di zona perang menggunakan kecepatan, manuver, dan daya serang yang mematikan.
Tujuannya adalah menjadi predator mandiri di langit, baik dalam skenario defensif maupun ofensif, bahkan dalam situasi minim dukungan.
Ketika kedua pesawat ini terus menyebar ke medan tempur global yang dipenuhi ketegangan, pertanyaan penting pun muncul: Jet tempur manakah yang benar-benar akan mendefinisikan wajah peperangan udara masa depan?
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]