Hingga 2024, diperkirakan baru kurang dari 25 unit Su-57 yang beroperasi, dan produksi skala penuhnya masih jauh dari rampung.
Meski begitu, Su-57 tetap dirancang untuk menjadi penantang utama F-35 dan F-22, terutama di medan tempur strategis seperti Eropa Timur, Arktik, hingga kawasan Indo-Pasifik.
Baca Juga:
AS Ogah Jual Jet Tempur Siluman F-35 ke Negara Muslim Termasuk Indonesia, Ini Alasannya
Perbedaan utama antara kedua pesawat ini terletak pada doktrin dan filosofi perangnya.
F-35 mencerminkan perang berbasis koalisi, dominasi sensor, dan transparansi medan tempur; sementara Su-57 mengedepankan keunggulan manuver, ketahanan terhadap gangguan elektronik, dan kemampuan bertempur secara independen.
Di tengah kondisi geopolitik yang semakin tidak menentu, dari perang Ukraina, militerisasi Laut Hitam, hingga ketegangan AS-Tiongkok di Laut Cina Selatan dan Selat Taiwan, dua jet tempur ini tak lagi sekadar alat perang, tetapi juga simbol nasionalisme dan proyeksi kekuatan global.
Baca Juga:
Media Asing Terkejut: Indonesia Jadi ‘Pembeli Besar-besaran’ Jet Tempur Dunia
Asal Usul dan Pengembangan
F-35 Lightning II dikembangkan oleh Lockheed Martin dalam program Joint Strike Fighter (JSF), dengan tiga varian berbeda: F-35A untuk operasi konvensional, F-35B untuk lepas landas pendek dan pendaratan vertikal, dan F-35C untuk operasi kapal induk.
Pesawat ini resmi aktif sejak 2015, dan telah menyebar luas di berbagai belahan dunia sebagai bagian penting dari jaringan udara sekutu NATO.