Kebijakan perang terhadap narkoba yang diusung Duterte sejak menjabat sebagai Presiden Filipina pada 2016 menjadi salah satu faktor utama yang membawanya ke puncak kekuasaan. 							
						
							
							
								Sebagai mantan wali kota yang dikenal keras terhadap kejahatan, Duterte menjadikan kebijakan ini sebagai program andalan dalam upayanya menekan peredaran narkoba di Filipina. 							
						
							
								
									
									
										Baca Juga:
										Warga Inggris Desak Hapus Nama Pangeran Andrew dari Jalan dan Taman
									
									
										
											
										
									
								
							
							
								Pada 2019, Duterte bahkan menarik Filipina dari keanggotaan ICC sebagai bentuk perlawanan terhadap penyelidikan yang mulai dilakukan terhadap kebijakannya. 							
						
							
							
								Hingga tahun lalu, pemerintah Filipina juga menolak untuk bekerja sama dengan ICC dalam proses penyelidikan tersebut.							
						
							
							
								Menurut laporan kepolisian, sebanyak 6.200 tersangka narkoba tewas dalam operasi yang mereka klaim sebagai aksi baku tembak. Namun, kelompok aktivis hak asasi manusia menyebut jumlah korban sebenarnya jauh lebih besar. 							
						
							
								
									
									
										Baca Juga:
										KAI Luncurkan Kereta Subsidi untuk Petani dan Pedagang, Uji Coba di Merak
									
									
										
									
								
							
							
								"Jumlah korban jauh lebih banyak dari yang dilaporkan. Banyak pengguna narkoba di daerah kumuh yang masuk dalam daftar pantauan resmi ditemukan tewas secara misterius," ungkap seorang aktivis HAM kepada media.							
						
							
							
								Meski demikian, pihak kepolisian membantah terlibat dalam pembunuhan di luar hukum. 							
						
							
							
								"Kami hanya bertindak sesuai prosedur. Tidak ada eksekusi sistematis seperti yang dituduhkan," kata juru bicara kepolisian.