Nepal sendiri memiliki sejarah panjang ketidaksetaraan. Dua dekade lalu negara itu masih menganut sistem monarki feodal, dan hingga kini pola konsentrasi kekayaan tetap berputar di lingkaran elite.
Dipesh Karki, asisten profesor di Universitas Kathmandu, menjelaskan bahwa sejak dulu, mereka yang berkuasa mengendalikan sumber daya negara, sehingga muncul apa yang disebut elite capture.
Baca Juga:
Protes Gen Z Nepal: Rumah PM Dibakar, Istri Eks PM Tewas Terpanggang Api
Ia menambahkan bahwa bisnis, kekayaan, hingga akses pendidikan di Nepal sebagian besar terkonsentrasi di keluarga elite politik.
“Anak-anak politisi hidup dari dividen politik,” ujar Karki.
Ketimpangan itu terlihat jelas dalam data Bank Dunia yang menyebut pendapatan per kapita tahunan Nepal hanya sekitar 1.400 dolar AS atau Rp23 juta, yang merupakan salah satu terendah di Asia Selatan.
Baca Juga:
Arab Saudi hingga Jepang, Negara-negara Ini Tidak Memiliki Hari Kemerdekaan
Artinya, rata-rata pendapatan warga Nepal per bulan hanya sekitar Rp1,9 juta dengan tingkat kemiskinan tetap berada di atas 20 persen.
Kondisi pengangguran juga menambah persoalan. Pada 2024 tercatat 32,6 persen pemuda Nepal tidak bekerja maupun bersekolah, jauh lebih tinggi dibandingkan India sebesar 23,5 persen.
Karena minimnya peluang, sekitar 7,5 persen penduduk Nepal memilih tinggal di luar negeri pada 2021.