Pengalaman itu amat traumatis bagi warga setempat, banyak di antara mereka yang masih frustrasi sampai sekarang.
“Kami diejek. Mereka mendepak kami, mengklaim bendungan akan membanjiri kota, yang sebenarnya mustahil karena kota lebih tinggi dari bendungan. Tapi saat itu adalah masa kediktatoran dan kami tidak punya hak,” kata Eugenio Jiménez, ketua Asosiasi Anak-anak Granadilla.
Baca Juga:
Akui Palestina Merdeka, Bendera Spanyol, Norwegia, dan Irlandia Berkibar di Tepi Barat
“Namun yang benar-benar membuat saya frustrasi adalah pada masa demokrasi, saya terus berjuang bersama asosiasi anak-anak mantan warga demi pengembalian Granadilla, dan tiada pemerintahan yang mendengarkan kami,” lanjutnya.
Purificación Jiménez, seorang mantan warga Granadilla, ingat benar kesulitan masa itu.
“Saya ingat setiap kali sebuah keluarga meninggalkan kota, semua orang berkumpul di gerbang kota untuk mengucapkan perpisahan dan menangis,” kenangnya.
Baca Juga:
Menhan Spanyol: Perang di Gaza Palestina Adalah Genosida, Harus Segera Dihentikan
Sampai sekarang warga kota tidak diizinkan mengklaim rumah mereka karena pemerintah Spanyol berkeras bahwa aturan mengenai penenggelaman ditandatangani secara sah oleh Franco.
Mantan warga dan keturunannya hanya bisa berkumpul dua kali setahun di kota tersebut pada hari suci umat Katolik, yakni Hari Raya Semua Orang Kudus pada 1 November dan Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga pada 15 Agustus.
Selain mantan warga, pengunjung awam bisa datang mengunjungi untuk berwisata secara gratis karena kota itu telah ditetapkan sebagai museum terbuka. [rsy]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.