WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pengakuan mengejutkan kembali datang dari jantung militer Israel.
Setelah puluhan laporan dan kecaman internasional, tentara Israel (IDF) akhirnya mengakui bahwa pasukannya telah menembak warga sipil Palestina yang tengah antre bantuan makanan di Gaza.
Baca Juga:
Belasan Warga Sipil Tewas saat Pemusnahan Amunisi Tak Layak Pakai di Garut
Lebih dari sekadar insiden, kejadian ini membuka tabir suram tentang bagaimana distribusi bantuan justru berubah menjadi ladang pembantaian.
Militer Israel menyampaikan pernyataan resmi bahwa mereka kini tengah melakukan "pemeriksaan menyeluruh" atas penembakan yang terjadi di pusat-pusat distribusi bantuan.
Juru bicara IDF menyebut, “Setelah insiden warga sipil yang tiba di fasilitas distribusi dilaporkan terluka, pemeriksaan menyeluruh dilakukan di Komando Selatan dan instruksi dikeluarkan untuk pasukan di lapangan setelah pelajaran yang dipetik.”
Baca Juga:
Sidang Dewan Keamanan PBB, Hanya AS yang Mendukung Israel Melarang di Palestina
Pernyataan ini muncul menyusul laporan dari surat kabar Haaretz pada 27 Juni lalu, yang menyebut bahwa tentara Israel diperintahkan untuk menembaki kerumunan warga tak bersenjata di dekat pusat distribusi makanan, bahkan ketika mereka tidak menunjukkan ancaman.
Sejak Israel mencabut blokade bantuan selama 11 minggu pada 19 Mei, lebih dari 400 warga Palestina dilaporkan tewas saat mencoba mendapatkan bantuan.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan Gaza mencatat hampir 600 warga sipil tewas di sekitar titik distribusi bantuan sejak akhir Mei.
Sebagian besar korban adalah orang-orang kelaparan yang berjalan kaki selama berjam-jam menuju lokasi yang dijaga militer.
Seorang pejabat senior PBB menyatakan pada 29 Juni bahwa mayoritas korban jiwa adalah mereka yang berusaha menjangkau lokasi bantuan dari Gaza Humanitarian Foundation (GHF), lembaga yang didukung Amerika Serikat.
Ironisnya, GHF justru menjadi simbol kontroversi.
GHF mulai mendistribusikan bantuan sejak akhir Mei 2025, namun model distribusinya dinilai tidak imparsial dan jauh dari aman.
“Setiap operasi yang menyalurkan warga sipil yang putus asa ke zona militer pada dasarnya tidak aman. Itu membunuh orang,” tegas Sekjen PBB Antonio Guterres.
Guterres menolak dorongan AS dan Israel agar PBB bekerja sama dengan GHF. Ia menuding skema distribusi tersebut memaksa pengungsian dan mempersenjatai bantuan kemanusiaan.
Sebaliknya, Kementerian Luar Negeri Israel justru menyalahkan PBB karena "berpihak pada Hamas" dan menuding lembaga internasional itu sengaja melemahkan operasi GHF.
Sementara itu, juru bicara GHF mengklaim tidak ada warga sipil yang tewas di atau dekat lokasi distribusi bantuan mereka. Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain.
Korban terus berjatuhan, dan suara-suara lantang kian menguat menuntut akuntabilitas.
Sejak dimulainya kampanye militer besar-besaran Israel pada 7 Oktober 2023, lebih dari 56.000 warga Palestina telah tewas, mayoritas dari mereka adalah warga sipil.
Jalur Gaza kini tak hanya luluh lantak secara fisik, tapi juga tenggelam dalam krisis kemanusiaan yang semakin dalam.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]