WahanaNews.co | Beberapa negara kecil di dunia diprediksi bisa “menghilang” tanpa tindakan pada pertemuan puncak PBB mendatang untuk mengatasi perubahan iklim.
Menghilangnya negara kecil di dunia akibat perubahan iklim itu disampaikan langsung oleh Sekretaris Jenderal Persemakmuran dalam sebuah wawancara pada Rabu (13/10/2021).
Baca Juga:
Studi Ungkap 10% Orang Terkaya Dunia Jadi Biang Kerok Krisis Iklim Ekstrem
"Ancaman terhadap 42 negara kecil itu ada. Orang-orang mengatakan bahwa seolah-olah itu tidak berarti apa yang dikatakan --yaitu negara-negara kecil ini akan hilang," kata Baroness Patricia Scotland kepada AFP.
Pengacara kelahiran Dominika sekaligus mantan menteri pemerintah Inggris itu berbicara selama kunjungan ke Roma yang mencakup pembicaraan dengan Paus Fransiskus.
Dia mengatakan, beberapa anggota terkecil Persemakmuran, seperti pulau-pulau Pasifik dataran rendah Tuvalu dan Nauru kini dalam keadaan yang berbahaya.
Baca Juga:
BMKG: Suhu Global 2024 Tembus Batas Krisis, Sinyal Nyata Darurat Iklim
Warga di pulau-pulau itu menurutnya telah mencari tempat baru untuk dikunjungi, karena saat ini permukaan laut sudah naik dan sangat berbahaya.
Dia juga mengecam dampak buruk dari badai yang lebih sering terjadi, termasuk di negara asalnya, Dominica.
"Dominica biasanya terlihat seperti Taman Eden. Tapi setelah Badai Maria (tahun) 2017, bahkan kulit pohon telah dilucuti, tidak ada satu pun daun hijau yang tersisa. Itu seperti Armageddon," ungkapnya.
Pembicaraan iklim PBB di kota Glasgow Skotlandia dari pada 31 Oktober hingga 12 November 2021 bertujuan untuk mengamankan kesepakatan global tentang dekarbonisasi ekonomi dunia dan memetakan jalan umat manusia menjauh dari bencana pemanasan global.
Ia bersikeras bahwa umat manusia “tidak punya pilihan” selain bertindak, mencatat bahwa negara-negara miskin terkena perubahan iklim juga membutuhkan utang yang luas dan bantuan vaksin Covid-19.
"Kita semua berada dalam badai yang sama, tapi kita jelas tidak berada di kapal yang sama," katanya.
Persemakmuran menyatukan 54 negara dan 2,6 miliar orang, dan Baroness adalah pemimpin wanita pertamanya.
Masa jabatannya seharusnya berakhir pada 2010, tetapi pertemuan puncak untuk memutuskan apakah akan mengangkatnya kembali atau menggantinya telah ditunda dua kali karena pandemi virus Corona.
"Saya tentu memiliki begitu banyak pekerjaan yang masih harus dilakukan sehingga saya sangat berharap untuk tetap berada di posisi saya, tetapi ini adalah masalah bagi negara-negara anggota untuk memutuskan," katanya. [dhn]