Sementara Barat sibuk dengan sanksi dan prioritas aliansi, Indonesia tampaknya memilih jalur independen: meracik kombinasi kekuatan udara dari Timur dan Barat.
Selain J-10 dan Su-35, gelombang pertama Rafale buatan Prancis dijadwalkan tiba di Tanah Air pada Februari 2026, bagian dari akuisisi 42 unit senilai RM32 miliar.
Baca Juga:
TNI Tanggapi 17+8 Tuntutan Rakyat: Kembali ke Barak dan Hormati Sipil
Dengan ketegangan regional yang terus meningkat, diversifikasi ini bukan hanya cerdas, tetapi juga vital. Terutama bagi negara yang berada di jantung Indo-Pasifik, tempat dua poros kekuatan global, AS dan China, bertabrakan dalam senyap dan terang.
Di LIMA 2025, pameran dirgantara dan maritim yang baru saja digelar di Langkawi, Malaysia, J-10CE, varian ekspor dari J-10C, menjadi primadona di paviliun China.
Jet ini dipuji karena telah “membuktikan diri dalam pertempuran sesungguhnya”, dan menyita perhatian analis serta calon pembeli dari berbagai negara.
Baca Juga:
TNI Tegaskan Anggotanya Tak Ikut Rusuh di DPRD Sumsel, Hanya Cari Makan
Melalui CATIC, eksportir senjata milik negara, Beijing kini mendorong J-10CE sebagai alternatif yang tangguh terhadap tawaran Barat dan Rusia.
Dengan biaya yang relatif efisien, beban geopolitik yang lebih ringan, dan kredensial tempur yang sedang naik daun, J-10CE menjadi godaan yang sulit diabaikan.
J-10C bukan sekadar jet tempur. Ia adalah simbol kekuatan industri pertahanan China yang kian percaya diri, dan pilar baru dari PLAAF yang kini mengoperasikan lebih dari 220 unit.