WAHANANEWS.CO, Jakarta - Hubungan intelijen antara Amerika Serikat (AS) dan Inggris, dua sekutu paling dekat di dunia Barat, dilaporkan mengalami ketegangan serius.
Inggris secara sepihak menangguhkan pembagian data intelijen dengan Washington setelah menilai serangan militer AS terhadap kapal-kapal yang dicurigai menyelundupkan narkoba di kawasan Karibia dan perairan Amerika Latin melanggar hukum internasional.
Baca Juga:
Dokumen Bocor Ungkap Rencana Pangkalan Militer AS di Dekat Jalur Gaza
Menurut sumber yang mengetahui situasi ini kepada CNN, Inggris telah menghentikan pertukaran informasi terkait operasi antinarkoba sejak lebih dari sebulan lalu.
Keputusan itu diambil setelah muncul kekhawatiran bahwa data intelijen yang mereka berikan mungkin digunakan oleh militer AS untuk melancarkan serangan mematikan terhadap kapal-kapal kecil di laut Karibia.
“Sebelum militer AS mulai meledakkan kapal-kapal pada bulan September, pemberantasan perdagangan narkoba ilegal ditangani oleh penegak hukum dan Penjaga Pantai AS, anggota Kartel, dan penyelundup narkoba diperlakukan sebagai penjahat dengan hak proses hukum, sesuatu yang dengan senang hati dibantu oleh Inggris,” kata sumber tersebut.
Baca Juga:
Trump Sebut Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa Sosok Kuat dari Tempat yang Keras
Namun, setelah AS melancarkan serangan udara dan laut terhadap kapal-kapal yang dicurigai, kekhawatiran mulai tumbuh di London.
“Tak lama setelah AS mulai melancarkan serangan mematikan terhadap kapal-kapal tersebut pada bulan September, Inggris mulai khawatir bahwa AS mungkin menggunakan intelijen yang diberikan oleh Inggris untuk memilih target. Para pejabat Inggris yakin serangan militer AS, yang telah menewaskan 76 orang, melanggar hukum internasional,” tambahnya.
Penilaian Inggris itu sejalan dengan pandangan Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Volker Türk, yang bulan lalu menyebut serangan tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional dan menyerupai “pembunuhan di luar proses hukum.”
Sebelum perubahan drastis dalam pendekatan AS, operasi penindakan perdagangan narkoba di laut biasanya dilakukan oleh lembaga penegak hukum dan US Coast Guard, bukan militer.
Prosedurnya bersifat hukum kapal dihentikan, digeledah, dan awaknya ditangkap untuk menjalani proses pengadilan. Inggris selama bertahun-tahun mendukung metode berbasis hukum itu, bukan aksi militer sepihak.
Langkah Inggris untuk menarik diri dari kerja sama intelijen mencerminkan meningkatnya keraguan dunia terhadap legalitas kampanye militer AS di Amerika Latin.
Namun pemerintahan Trump bersikeras bahwa tindakannya sah secara hukum.
Washington beralasan bahwa para penyelundup narkoba menimbulkan ancaman nyata bagi warga Amerika dan oleh karena itu dikategorikan sebagai “kombatan musuh” dalam “konflik bersenjata” melawan AS.
Dalam memo resmi yang dikirim ke Kongres dan diperkuat oleh opini rahasia dari Kantor Penasihat Hukum Departemen Kehakiman, Trump bahkan menetapkan sejumlah kartel narkoba sebagai “kelompok teroris asing.”
Gedung Putih menegaskan bahwa seluruh operasi tersebut “sepenuhnya mematuhi Hukum Konflik Bersenjata,” yang menurutnya dirancang untuk mencegah korban sipil.
Kolombia Ikuti Langkah Inggris
Dampak ketegangan ini meluas. Presiden Kolombia Gustavo Petro pada hari Selasa memerintahkan aparat keamanan negaranya untuk menghentikan sementara kerja sama intelijen dengan AS, sampai pemerintahan Trump menghentikan serangan terhadap kapal-kapal cepat (speedboat) yang diduga membawa narkoba di Karibia.
Keputusan itu diambil di tengah memburuknya hubungan antara Bogotá dan Washington, dua negara yang selama ini dikenal sebagai sekutu dekat dalam perang melawan narkoba.
Dalam unggahan di akun X (sebelumnya Twitter), Petro menulis bahwa militer Kolombia harus mengakhiri komunikasi dan kerja sama operasional dengan lembaga keamanan AS hingga serangan terhadap kapal di perairan Karibia benar-benar dihentikan.
“Perang melawan narkoba harus tunduk pada hak asasi manusia rakyat Karibia,” ujar Petro.
Belum ada kejelasan sejauh mana informasi intelijen akan diblokir oleh Kolombia, namun Gedung Putih hingga kini belum memberikan tanggapan atas keputusan tersebut.
Petro bahkan menyerukan agar Presiden AS Donald Trump diselidiki atas dugaan kejahatan perang, karena serangan yang dilakukan militer AS telah menimbulkan korban di Venezuela, Ekuador, Kolombia, dan Trinidad dan Tobago.
Pemimpin berhaluan kiri itu selama ini dikenal sebagai kritikus keras kebijakan narkoba Washington. Ia menuduh pemerintahan Trump justru menyasar petani koka bahan baku kokain alih-alih memburu gembong narkoba dan jaringan pencucian uang besar.
Dalam pertemuan antara para pemimpin Amerika Latin dan Uni Eropa di Kolombia pada hari Minggu, Petro juga mengungkapkan bahwa dirinya telah bertemu dengan keluarga seorang nelayan Kolombia yang diduga tewas dalam salah satu serangan tersebut.
“Dia mungkin sedang membawa ikan, atau mungkin sedang membawa kokain, tetapi dia belum dijatuhi hukuman mati,” kata Petro. “Tidak perlu membunuhnya.”
[Redaktur: Ajat Sudrajat]