Dia juga menghabiskan sebagian masa mudanya di Aljazair, di mana para ahli mengatakan dia ditarik ke dalam lingkaran ekstrimis.
Al-Sahrawi terlibat dalam pemberontakan Sahel sejak awal, sebagai anggota Gerakan untuk Kesatuan dan Jihad di Afrika Barat (MUJAO), salah satu milisi Islam yang menguasai Mali utara.
Baca Juga:
2 Unit Kapal Selam Prancis Resmi Dibeli RI, Produksinya di Surabaya
Sebelum intervensi Prancis, al-Sahrawi adalah juru bicara MUJAO yang bersekutu dengan al-Qaeda di kota utara Gao. Di sana, ia mendapatkan reputasi sebagai penegak hukum Syariah yang tidak fleksibel.
Seorang pejabat terpilih di kota itu, yang meminta namanya tidak disebutkan, mengatakan bahwa lebih banyak pencuri yang dipotong tangannya di Gao daripada di tempat lain.
"Itu karena instruksi Abu Walid," katanya, merujuk pada al-Sahrawi, seperti dikutip dari AFP, Kamis (16/9/2021).
Baca Juga:
Orleans Masters 2024, Empat Wakil Indonesia Lolos ke Babak Kedua
MUJAO kemudian bergabung dengan kelompok lain untuk membentuk milisi al-Mourabitoune, di bawah kepemimpinan Mokhtar Belmokhtar dari Aljazair.
Namun pada tahun 2015, al-Sahrawi berjanji setia kepada kelompok Negara Islam (IS atau ISIS), yang pada saat itu menguasai sebagian besar wilayah Irak dan Suriah.
Dilaporkan merekrut dari kelompok penggembala tradisional Fulani, ISGS aktif di wilayah perbatasan tanpa hukum yang menghubungkan Mali, Burkina Faso dan Niger, di mana ISGS menerapkan interpretasi kerasnya terhadap hukum Syariah.