Tiga hari sebelum invasi pimpinan AS dan Inggris ke Irak dimulai pada 19 Maret 2003, Blix mengaku diminta untuk meninggalkan Irak.
Pada 23 Januari 2004, David Kay yang memimpin tim bentukan Washington untuk mencari senjata pemusnah massal di Irak mengatakan, Irak tidak lagi memiliki persediaan senjata biologis dan kimia.
Baca Juga:
Bantu Rusia, Terungkap Kim Jong Un Kirim Tentara ke Ukraina
“Saya tidak berpikir mereka (senjata-senjata pemusnah massal Irak) ada,” kata Kay kepada Reuters seperti dilaporkan CNN.
“Yang semua orang bicarakan adalah tentang persediaan yang diproduksi setelah akhir Perang Teluk (1991), dan saya tidak berpikir ada program produksi berskala besar pada 90-an,” imbuhnya.
Posisi Kay lalu digantikan Charles Duelfer, mantan pejabat tim inspeksi PBB di Irak.
Baca Juga:
3 Negara Ini Melarang Warganya Tersenyum kepada Orang Lain, Kok Bisa?
Pada 6 Oktober 2004, Iraq Survey Group (ISG) yang dipimpin Duelfer dan beranggotakan 1.200 penyelidik, merilis laporan setebal 1.500 halaman.
Setelah melakukan pencarian dan penyelidikan selama 15 bulan, ISG menyatakan Saddam Hussein telah menghancurkan senjata pemusnah massal terakhirnya pada 1991.
Namun, laporan tersebut menyebutkan, “Saddam ingin menciptakan kembali kapabilitas WMD (weapons of mass destruction atau senjata pemusnah massal) – yang pada dasarnya sudah dihancurkan pada 1991 – setelah sanksi dicabut dan perekonomian Irak stabil.”