WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketika jilbab hijau zaitunnya menyembul dari balik helm tempur, bukan senyum nakal yang terpancar dari Ayesha Farooq, melainkan aura ketangguhan seorang pionir.
Ia bukan sekadar pilot; ia adalah satu-satunya wanita yang telah mengukir namanya sebagai pilot tempur siap tempur di Angkatan Udara Pakistan (PAF) yang didominasi pria, sebuah jawaban tegas atas pertanyaan tentang kesendiriannya di garis depan.
Baca Juga:
Pakistan Kehilangan Dukungan di DK PBB, India Lanjutkan Manuver Diplomatik
Lahir di Bahawalpur, Farooq adalah puncak dari gelombang kecil namun signifikan: satu dari hanya 19 wanita yang berhasil menembus kokpit Angkatan Udara Pakistan (PAF) dalam satu dekade terakhir.
Reuters
Dari kelompok elite ini, hanya enam yang berhasil menembus jalur pilot tempur, dan Farooq berdiri sendiri di garis depan, satu-satunya yang telah lulus ujian akhir untuk menghadapi ancaman nyata di medan laga.
Baca Juga:
Gawat! Jet Tempur Rafale Gagal Total, Armenia Siap Beli Jet Super Sukhoi dari India
Namun, kisahnya tak berhenti pada pemecahan rekor. Di tengah riuhnya spekulasi media sosial dan kebisuan konfirmasi resmi militer, nama Farooq melesat menjadi legenda.
Ia dikabarkan menjadi sosok di balik kemudi jet tempur yang merontokkan jet Rafale India dalam sebuah duel malam yang menegangkan, sebuah aksi heroik yang menggagalkan ancaman udara, memenangkan supremasi langit, dan menobatkannya sebagai pahlawan di mata Pakistan.
1. Melakukan Pengeboman yang Sama
“Saya tidak merasa ada yang berbeda. Kami melakukan aktivitas yang sama, pengeboman presisi yang sama,” kata Farooq dengan suara lembut dalam wawancara dengan Dawn, menggambarkan bagaimana ia diperlakukan setara dengan rekan-rekan prianya di Pangkalan Udara Mushaf.
Semakin banyak perempuan Pakistan yang bergabung ke dalam dinas militer, didorong oleh perubahan sosial dan persepsi terhadap perempuan.
Menurut Farooq, kondisi keamanan regional memaksa semua elemen masyarakat untuk ikut berkontribusi.
“Karena terorisme dan lokasi geografis kami, sangat penting bagi kami untuk tetap waspada,” ujarnya, menyinggung militansi Taliban dan kekerasan sektarian yang kian mengkhawatirkan, apalagi dengan situasi Afghanistan dan hubungan yang renggang dengan India.
2. Ditentang Ibunya, Namun Tak Menyerah
Tujuh tahun lalu, Farooq berselisih paham dengan ibunya, seorang janda yang tidak berpendidikan, ketika menyatakan keinginannya untuk menjadi pilot jet tempur.
“Di masyarakat kita, kebanyakan gadis bahkan tidak berpikir untuk melakukan hal-hal seperti menerbangkan pesawat,” ujarnya.
Tekanan budaya dan harapan keluarga membuat banyak perempuan enggan menembus dunia angkatan bersenjata yang maskulin.
Sebagian besar wanita hanya menerbangkan pesawat angkut atau bertugas di garis belakang.
3. Menerbangkan Jet Tempur Buatan China
Farooq kini menerbangkan jet tempur F-7PG buatan China di bawah Skuadron 20. “Semakin banyak wanita yang bergabung sekarang,” kata Komandan Sayap, Nasim Abbas, seraya menambahkan bahwa kini profesi ini tak lagi dianggap tabu.
“Ada pergeseran dalam cara berpikir bangsa, masyarakat,” jelasnya.
Kini, sekitar 4.000 perempuan bertugas di angkatan bersenjata Pakistan, meskipun sebagian besar masih terbatas di posisi administratif dan medis.
Namun dalam dekade terakhir, mereka mulai mengisi peran strategis, bahkan di pasukan anti-teror elit.
4. Masa Kecil Tanpa Ayah, Menjadi Pelindung Keluarga
Ayah Ayesha Farooq wafat saat ia masih kecil, meninggalkan ibunya untuk membesarkan dua anak perempuan seorang diri.
“Ayesha dan saudara perempuannya tumbuh dalam lingkungan yang cukup sulit untuk bertahan hidup jika tidak memiliki pelindung laki-laki,” kata Bina Shah, penulis A Season for Martyrs, yang pernah menulis profil Farooq.
Ketidakhadiran sang ayah justru membuat Ayesha terdorong untuk menjadi pelindung bagi keluarganya.
Ia memutuskan untuk mendaftar di akademi angkatan udara dan menekuni pelatihan keras untuk menjadi pilot tempur.
Meski awalnya sang ibu keberatan, dukungan penuh akhirnya datang. Namun, penolakan justru datang dari keluarga besar.
“Tapi Ayesha berhasil meyakinkan mereka dengan tekadnya,” ujar Shah.
Kini, keluarga besarnya justru datang kepadanya, meminta saran bagaimana anak perempuan mereka bisa mengikuti jejaknya.
5. Setara dengan Rekan Pria
Di lingkungan kerja, Ayesha kini diperlakukan sama seperti perwira pria lainnya.
Ketika wartawan bertanya kepada rekan-rekannya soal “rekan kerja perempuan”, respons mereka mengejutkan.
“Mereka bertanya, ‘Nyonya? Siapa nona?’” tutur Shah.
“Mereka tidak menganggapnya sebagai seorang nona, dia hanya seorang perwira seperti mereka.”
Menurut Shah, para perwira pria tahu bahwa semua berada di sana karena kemampuan, bukan karena kuota.
“Dia lulus semua ujian, dia mendapat nilai sangat tinggi. Dia selalu menjadi yang teratas di kelasnya,” ujar Shah.
6. Simbol Harapan di Negara Patriarkis
Meski kisah Farooq adalah cerminan sukses perempuan di angkatan bersenjata, Pakistan tetap menghadapi tantangan besar dalam kesetaraan gender.
“Kami pernah memiliki kepala negara perempuan, namun perempuan masih didiskriminasi secara hukum dan tidak dilindungi sepenuhnya,” ujar Shah. Meski begitu, ia tetap optimistis.
“Apa yang kita lihat adalah perubahan besar. Isu-isu perempuan kini disorot, yang dulu tidak pernah diperhatikan. Saya sendiri sangat gembira menyaksikan ini di zaman sekarang,” pungkasnya.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]