WahanaNews.co
| Selama
bertahun-tahun, Zebulon Simentov masih bertahan tinggal di Afghanistan, di mana
dia mengalami banyak kejadian.
Yahudi terakhir di negara Timur Tengah itu
sudah lolos dari invasi Uni Soviet, perang saudara yang brutal, Taliban, maupun
pendudukan AS.
Baca Juga:
Taliban Persekusi Ratusan Perempuan Afghanistan
Namun, kini dengan kemungkinan kembalinya
Taliban, Simentov mengutarakan niatnya untuk angkat kaki dari negara itu.
"Mengapa saya harus tinggal? Mereka
menyebut saya kafir," kata Simentov, ditemui di satu-satunya sinagoge di
Kabul.
"Saya Yahudi terakhir, satu-satunya di
sini. Saya harus pergi dan kembali ke Israel jika Taliban berkuasa,"
lanjutnya, dilansir Daily Mail, Kamis (29/4/2021).
Baca Juga:
Taliban Larang Anak Perempuan Berusia 10 Tahun untuk Sekolah
Kelompok pemberontak itu bersiap mengambil lagi
kekuasaan setelah Presiden AS, Joe Biden, mengumumkan penarikan pasukan pada
September.
Pada awal April ini, Biden menuturkan bahwa dia
akan memulangkan 2.500 tentara AS pada 11 September, bertepatan dengan 20 tahun
peringatan 9/11.
Keputusan Washington itu mengabaikan tanggal
yang ditetapkan pemberontak maupun Kabul dalam Perjanjian Doha, Februari tahun
lalu.
Di sisi lain, perundingan damai antara
pemberontak dengan pemerintah Afghanistan masih menemui jalan buntu.
Kebijakan baru Biden itu tak pelak menimbulkan
kemarahan pemberontak, yang kini menjaga jarak dari AS.
Perwakilan Taliban menyatakan, delegasi mereka
tidak akan berangkat ke Turki, lokasi negosiasi damai.
Pernyataan itu memunculkan kekhawatiran mereka
akan menggelar serangan musim semi, yang bertepatan dengan makin menghangatnya
cuaca.
Simentov lahir pada 1950-an di Herat, tak jauh
dari lokasi seorang perempuan dipecuti karena ketahuan berbicara dengan pria.
Selama 2.500 tahun, komunitas Yahudi tinggal di
Afghanistan, di mana puluhan ribu di antaranya bermukim di Herat.
Namun, sejak abad ke-19, mereka
berangsur-angsur meninggalkan negara itu dan memutuskan untuk menetap di
Israel.
Selama bertahun-tahun, semua kerabat Simentov
sudah pergi, termasuk istri dan dua putri mereka.
Karena itu, Simentov jadi satu-satunya Yahudi
di sana.
Meski begitu, dia dengan bangga menyatakan
dirinya warga Afghanistan.
Mengenakan tunik tradisional dan terusan,
kippah hitam serta teffilin, Simentov mengingat momen sebelum Soviet menginvasi
sebagai tahun terbaik hidupnya.
Dia mengisahkan pada saat itu, semua pemeluk
agama hidup dalam damai dan seluruh sekte bebas menjalankan keyakinan mereka.
Simentov mengutarakan momen saat Taliban
berkuasa pada 1996 sampai 2001 adalah kejadian tersuram dalam hidupnya.
Saat itu, dia mengaku dipenjara sampai empat
kali di mana kelompok mereka mencoba untuk memaksanya berpindah agama.
Dalam salah satu insiden yang membuatnya amat
sangat marah, Taliban menyerbu dan menghancurkan sinagoge.
Kelompok pemberontak tersebut menyobek buku
dalam aksara Ibrani, menghancurkan Menorah dan menjarah Torah.
"Saat itu, mereka mengatakan tempat ini
adalah Kekhalifahan Islam dan Yahudi tidak punya hak berada di sini,"
jelasnya.
Meski begitu, dia tetap kukuh menjejakkan
kakinya di Afghanistan.
Dia ingin supaya semua agama Musa bisa diterima
di sana.
Karena itu setiap tahun, Simentov yang
sendirian memperingati tahun baru Rosh Hashanah dan Yom Kippur, kadang ditemani
sejumlah warga Muslim.
Simentov mengatakan, saat Taliban digulingkan
pada 2001, dia merasa Afghanistan akan jatuh pada kemakmuran.
"Saya kira AS dan Eropa akan membantu
negara ini. Saya sudah kehilangan keyakinan di sini," jelasnya.
Shakir Azizi, tetangga sekaligus pemilik toko
kelontong dekat tempat Simentov tinggal, akan merasa kehilangan dengan
kepergian Simentov.
"Dia adalah pria baik. Dia menjadi
pelanggan saya selama 20 tahun. Tentu kehadirannya akan dirindukan," kata
Azizi.
Namun, keputusan Zebulon Simentov sudah bulat.
Dia memilih angkat kaki daripada nyawanya terancam di sini.
"Taliban tetaplah kelompok yang sama dalam
21 tahun terakhir. Saya tak melihat ada kehidupan di sini," ujar dia.
[qnt]