WAHANANEWS.CO, Jakarta - Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dibuat terkejut dan ngeri setelah menerima laporan bahwa lebih dari seratus orang tewas dalam operasi besar-besaran kepolisian di Rio de Janeiro yang menargetkan geng narkoba Comando Vermelho atau Red Command.
Operasi yang digelar pada Senin (27/10/2025) itu menjadi penggerebekan paling mematikan dalam sejarah Brasil dengan jumlah korban resmi mencapai 119 orang, sementara lembaga bantuan hukum publik negara bagian mencatat angka hingga 132 jiwa.
Baca Juga:
Dari Energi hingga Pertahanan, Indonesia dan Brasil Bangun Babak Baru Kemitraan Strategis
Menteri Kehakiman Ricardo Lewandowski menyampaikan bahwa Lula benar-benar terkejut karena operasi sebesar itu dilakukan tanpa sepengetahuan pemerintah federal, seraya menambahkan bahwa presiden sangat prihatin terhadap jumlah korban yang sangat tinggi.
“Presiden terkejut dan merasa ngeri bahwa operasi sebesar ini dilakukan tanpa sepengetahuan pemerintah federal,” ujar Lewandowski dalam pernyataannya, Rabu (29/10/2025).
Dalam tanggapannya, Lula menegaskan bahwa meskipun kejahatan terorganisir harus dilawan, penegakan hukum tidak boleh mengorbankan nyawa warga sipil maupun aparat.
Baca Juga:
Seraf Naro Cetak Sejarah, Raih Emas Perdana Individu di Kejuaraan Dunia Wushu 2025
“Kita tidak bisa menerima bahwa kejahatan terorganisir terus menghancurkan keluarga, menindas warga, dan menyebarkan narkoba serta kekerasan di kota-kota,” tulis Lula melalui akun X miliknya.
“Kita perlu kerja terkoordinasi yang menyerang jantung perdagangan narkoba tanpa membahayakan polisi, anak-anak, dan keluarga tak bersalah,” ujarnya.
Operasi di kompleks Penha, Rio de Janeiro, pada Rabu (29/10/2025) dilakukan oleh pasukan kepolisian negara bagian yang menargetkan geng bersenjata berat Comando Vermelho yang selama ini menguasai kawasan kumuh atau favela di kota tersebut.
Dalam serangan yang disebut sebagai “operasi paling berdarah” itu, aparat menggunakan kendaraan lapis baja, helikopter, dan drone untuk memburu anggota geng yang melawan dengan bom udara dan tembakan dari gedung-gedung tinggi.
Pemerintah negara bagian Rio menyebut operasi ini sebagai “sukses besar” dalam memerangi apa yang mereka sebut sebagai “narkoterorisme”, sementara Gubernur Claudio Castro menyatakan bahwa satu-satunya korban hanyalah empat petugas polisi yang tewas dalam baku tembak.
Namun, kesaksian warga menunjukkan hal yang berbeda, di mana banyak yang menuduh polisi melakukan eksekusi di luar hukum terhadap warga sipil yang tidak bersalah.
Warga Kompleks Penha mengumpulkan puluhan jenazah yang ditemukan di hutan pinggiran kota dan membaringkannya di jalan utama sebagai bentuk protes terhadap tindakan brutal aparat.
“Negara datang untuk membantai, bukan beroperasi. Mereka datang untuk membunuh,” ujar seorang perempuan kepada AFP dengan nada marah.
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) juga menyuarakan keprihatinan mendalam atas jumlah korban jiwa yang luar biasa banyak dan menyerukan dilakukannya penyelidikan menyeluruh serta cepat.
“Kami mengingatkan otoritas Brasil tentang kewajiban mereka berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional dan mendesak adanya penyelidikan yang efektif,” demikian pernyataan resmi lembaga tersebut.
Di sisi lain, aktivis hak asasi manusia di Brasil menuding banyak korban yang ditembak dari jarak dekat dan menunjukkan tanda-tanda penyiksaan yang parah.
“Banyak yang dieksekusi dengan tembakan di kepala atau di punggung. Ini tidak bisa disebut keamanan publik,” kata Raull Santiago, seorang aktivis berusia 36 tahun yang tinggal di kawasan tersebut.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]