WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di tengah memanasnya konflik dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, Beijing tampaknya tengah bersiap lebih dari sekadar adu tarif.
Tanda-tanda negeri Tirai Bambu mempersiapkan diri untuk kemungkinan konflik nyata semakin kentara, terutama dengan peluncuran teknologi militer terbarunya: drone hipersonik MD-19.
Baca Juga:
Pentagon Akui Lemah Hadapi China, 15 Rudal Bisa Bikin 10 Kapal Induk AS Hilang Seketika
MD-19 adalah sistem pesawat tanpa awak kompak yang mampu terbang di atas kecepatan Mach 7, atau sekitar 6.800 km/jam.
Teknologi ini menjadi penanda era baru penerbangan hipersonik dan membuat Pentagon tidak bisa tidur nyenyak.
Keunggulan utama drone ini tidak hanya pada kecepatannya, tetapi juga kemampuannya untuk memperlambat hingga kecepatan subsonik dan mendarat horizontal di landasan biasa, sesuatu yang sangat sulit dicapai secara teknis.
Baca Juga:
Trump Kembali Ancam Iran, Pentagon Kerahkan Bomber B-2 ke Diego Garcia
Desain aerodinamis dengan badan berbentuk baji, sayap delta, dan ekor vertikal miring memungkinkan kestabilan pada kecepatan ekstrem, sementara mesinnya -- yang diduga roket -- memberikan daya dorong besar meski mengorbankan jangkauan terbang dibanding teknologi scramjet.
Kecanggihan lain datang dari integrasi kecerdasan buatan tingkat lanjut yang meniru proses pengambilan keputusan alami, menjadikan drone ini bukan sekadar alat, melainkan entitas cerdas yang mampu bermanuver kompleks secara otonom.
MD-19 merupakan hasil kolaborasi antara Institut Mekanika Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok dan Akademi Riset Aerodinamika Guangdong.
Kedua institusi ini memanfaatkan pengalaman dari terowongan angin hipersonik JF-12 -- salah satu fasilitas simulasi penerbangan tercepat di dunia. Berkat pendekatan sinergis antara dunia akademik, industri, dan militer, Tiongkok berhasil mengembangkan teknologi ini jauh lebih cepat daripada kompetitor utamanya, Amerika Serikat.
Kunci keunggulan Tiongkok terletak pada kemampuan manufakturnya yang masif dan efisien, ditambah keberhasilan mereka mengintegrasikan sektor publik dan swasta dalam proyek strategis nasional.
Keberhasilan pendaratan horizontal MD-19 pada tahun 2020 menjadi bukti nyata bahwa Beijing bukan hanya bicara, tetapi sudah bergerak jauh ke depan.
MD-19 bukan hanya sekadar alat pengintai berkecepatan tinggi. Potensi untuk dipersenjatai dengan hulu ledak konvensional -- atau bahkan nuklir -- membuatnya menjadi ancaman nyata terhadap sistem pertahanan udara AS.
Kemampuan bermanuver ekstrem pada kecepatan tinggi, dipadukan dengan kecerdasan buatan, berpotensi mengacaukan sistem deteksi dan respons Amerika Serikat.
“Jika konflik berskala besar pecah, drone ini bisa menjadi faktor pengubah permainan,” ujar Dr. Lyle Goldstein, pengamat strategi militer dari Defense Priorities.
“Kecepatan, kecerdasan buatan, dan kemampuan adaptif MD-19 membuatnya jauh lebih dari sekadar senjata; ini adalah platform eksperimental masa depan.”
Sementara itu, Kolonel (Purn.) Thomas Hamilton, mantan perwira AU AS dan peneliti di RAND Corporation, menyebut, “Kita belum punya sistem yang bisa secara konsisten menghadang target secepat dan selincah ini. MD-19 membuka babak baru dalam dominasi udara.”
Meskipun Tiongkok sering dituduh melebih-lebihkan kemajuan teknologinya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa mereka telah melampaui banyak ekspektasi.
Di bidang drone, hipersonik, dan AI, mereka bukan hanya penantang, tapi kini berada di garis terdepan.
Dengan semua faktor tersebut, MD-19 bukan hanya kemenangan teknologi, tetapi juga sinyal kuat bahwa Tiongkok tengah menantang hegemoni teknologi militer AS secara langsung, dan bisa saja, dalam waktu tak lama lagi, menjadi ancaman langsung bagi daratan Amerika.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]