WAHANANEWS.CO, Jakarta - Langkah Indonesia yang agresif dalam memperkuat kekuatan udara kembali mencuri perhatian media internasional.
EurAsian Times dalam laporannya yang berjudul KAAN, F-15 EX, Rafale, KF-21 & Even Su-35 & J-10C: This Asian Country Is On A Fighter Jet Shopping Spree menyebut Indonesia tengah menjalani “shopping spree” besar-besaran dalam pengadaan jet tempur dari berbagai penjuru dunia.
Baca Juga:
Banjir di Bekasi dan Jakarta Disorot Media Asing
Tak hanya menjalin kesepakatan dengan sekutu lama seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan, Indonesia juga membuka pintu kerja sama dengan Turkiye, Rusia, bahkan China, demi membenahi armada tempurnya yang mulai menua.
Deal Besar dengan Turki
Langkah spektakuler terbaru datang pada 11 Juni 2025.
Baca Juga:
Presiden Terpilih Prabowo Subianto Dipuji Media Asing, Katakan Ini
Presiden RI Prabowo Subianto menandatangani kontrak pembelian 48 unit jet tempur generasi kelima KAAN dari Turkiye senilai sekitar 10 miliar dolar AS atau Rp 162 triliun.
Kesepakatan ini menjadikan Indonesia sebagai pembeli ekspor pertama jet tempur siluman andalan Turki tersebut.
“Sebagai bagian dari perjanjian dengan negara sahabat kami, Indonesia, sebanyak 48 KAAN akan diproduksi di Turkiye dan diekspor ke Indonesia,” tulis Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan melalui akun X miliknya.
Tak hanya pembelian, kesepakatan ini juga mencakup alih teknologi dan partisipasi industri pertahanan dalam negeri Indonesia dalam proses produksi KAAN selama satu dekade ke depan.
Manuver ke Rusia, Su-35 Masih Menggoda
Usai mengamankan kontrak dengan Turkiye, Presiden Prabowo dijadwalkan melanjutkan kunjungan kenegaraannya ke Rusia pada 18–20 Juni mendatang untuk bertemu langsung dengan Presiden Vladimir Putin.
Juru Bicara Kemenlu RI Rolliansyah Soemirat menyebut bahwa kunjungan ini akan membahas kerja sama bilateral serta isu kawasan dan global.
Namun sejumlah media global berspekulasi bahwa Prabowo juga akan membahas potensi pembelian jet tempur Su-35 buatan Rusia yang sudah ditawarkan sejak 2018.
Kala itu, Indonesia berencana membeli 11 unit Su-35 senilai 1,14 miliar dolar AS atau sekitar Rp 14 triliun lewat skema imbal dagang dengan komoditas lokal.
Namun, tekanan sanksi dari Amerika Serikat dan keterbatasan fiskal pasca pandemi membuat rencana ini tertunda.
“Kesepakatan Su-35 masih ada di atas meja,” kata Dubes Rusia untuk Indonesia, Sergei Tolchenov, Januari 2025 lalu.
Jet dari Berbagai Penjuru
Indonesia juga terus melanjutkan keterlibatannya dalam proyek jet tempur KF-21 Boramae bersama Korea Selatan.
Meskipun sebelumnya sempat terganggu oleh isu keterlambatan pembayaran dan tudingan kebocoran data, kemitraan ini kembali diperkuat melalui kesepakatan baru yang diteken hanya sehari setelah penandatanganan kontrak KAAN.
Sementara itu, kerja sama dengan Prancis sudah lebih dulu berjalan. Sejak 2022, Indonesia telah menandatangani pembelian 42 jet Rafale senilai 8,1 miliar dolar AS (sekitar Rp 131 triliun).
Bahkan Indonesia telah mengirim surat intensi tambahan kepada Dassault Aviation untuk menambah jumlah pesawat tersebut.
Dari Amerika Serikat, Indonesia menjajaki pembelian 24 unit F-15EX dari Boeing melalui nota kesepahaman.
Meski nilai kontraknya mencapai 8 miliar dolar AS, diskusi internal soal anggaran masih berlangsung.
Teranyar, Wakil Menteri Pertahanan Donny Ermawan Taufanto mengungkapkan bahwa Indonesia baru saja menerima tawaran jet tempur J-10C dari China.
“Ini baru sebatas tawaran,” jelas Donny. “Kami masih evaluasi apakah cocok dengan kebutuhan operasional dan bisa terintegrasi dengan platform yang kami miliki.”
Ia juga menambahkan bahwa belum ada tim teknis yang dikirim untuk menilai spesifikasi J-10C, menandakan prosesnya masih sangat awal.
Mimpi Armada Super Campur?
Jika seluruh rencana ini terealisasi, Indonesia bisa saja memiliki armada jet tempur paling beragam di kawasan Asia.
Kombinasi Rafale dari Prancis, F-15EX dari AS, Su-35 dari Rusia, KF-21 dari Korsel, KAAN dari Turkiye, dan mungkin J-10C dari China menciptakan formasi udara yang unik.
EurAsian Times menyebut pendekatan ini sebagai strategi diversifikasi alutsista yang bertujuan menghindari ketergantungan pada satu negara saja.
Meski demikian, langkah ini juga menyimpan tantangan besar, terutama dalam hal interoperabilitas sistem senjata, pelatihan, dan logistik suku cadang.
Namun yang pasti, Indonesia konsisten menjaga prinsip politik luar negeri bebas aktif.
Negara ini enggan terlibat dalam konflik geopolitik besar, seperti perang Rusia-Ukraina, dan tetap membuka ruang kerja sama dengan seluruh kekuatan dunia.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]