WAHANANEWS.CO, Jakarta - Skandal obat generik mengguncang sistem kesehatan China. Gelombang protes pecah setelah para dokter memperingatkan risiko fatal penggunaan obat murah di rumah sakit umum negara tersebut.
Para tenaga medis berada di posisi dilematis: mereka dipaksa memilih antara penghematan anggaran atau keselamatan pasien. Sistem pengadaan yang memprioritaskan obat generik berbiaya rendah kini dipertanyakan efektivitasnya.
Baca Juga:
DeepSeek Guncang Industri AI, ChatGPT Terpaksa Ubah Strategi
Meski pemerintah China bersikeras bahwa masalah ini hanya "perbedaan persepsi" dalam pernyataan resminya Minggu (9/2/2025), fakta di lapangan menunjukkan krisis kepercayaan yang makin dalam.
Temuan terbaru mengindikasikan variasi respons tubuh pasien terhadap obat generik dapat memicu komplikasi serius.
Sementara itu, klaim ketidakefektifan obat generik disebut banyak bersumber dari pengalaman pribadi dan asumsi subjektif.
Baca Juga:
India Tolak BRICS Karena Tak Ingin Berbagi Mata Uang yang Sama dengan China
Pernyataan resmi tersebut gagal meredakan kecemasan publik, yang semakin mempertanyakan standar kualitas obat di rumah sakit dan apotek umum.
Kontroversi ini menjadi tantangan besar bagi sistem layanan kesehatan di China, yang kini juga menghadapi tekanan akibat populasi yang menua dengan cepat.
Kemunculan Polemik
Perdebatan soal obat generik mencuat sejak Desember 2024, saat pemerintah mengumumkan hampir 200 perusahaan yang memenangkan kontrak untuk memasok obat ke rumah sakit pemerintah.
Sebagian besar pemenang tender adalah produsen obat generik lokal.
Ketegangan semakin meningkat pada Januari 2025, ketika sebuah wawancara video dari Direktur Departemen di salah satu rumah sakit Shanghai, Zheng Minhua, menjadi viral.
Dalam video tersebut, Zheng mengungkap berbagai masalah dalam sistem pengadaan obat, termasuk antibiotik yang menyebabkan reaksi alergi, obat bius yang tidak bekerja optimal, serta obat pencahar yang tidak efektif.
Pernyataannya langsung menjadi perbincangan hangat di media sosial, ditonton jutaan kali dalam sebulan terakhir. Namun, sebagian besar diskusi seputar isu ini telah disensor di platform Weibo.
Banyak warga juga membagikan pengalaman buruk mereka terkait obat generik yang dianggap tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Seorang pengguna Weibo, misalnya, mengaku harus menggandakan dosis obat pencahar yang diresepkan sebelum akhirnya mencari alternatif lain seperti minum kopi.
Kekhawatiran Masyarakat
Kegelisahan publik terhadap obat generik semakin meluas, menyebabkan ketidakpercayaan terhadap produk tersebut. Beberapa pasien bahkan memilih membeli obat bermerek secara daring daripada menggunakan versi generik yang diresepkan dokter.
Salah satu pengguna di platform Xiaohongshu menulis bahwa antibiotik generik yang diberikan rumah sakit terasa berbeda dari versi aslinya, sehingga ia lebih memilih membeli langsung versi bermerek.
Di sisi lain, sejumlah unggahan viral yang membahas isu ini telah dihapus tanpa kejelasan mengenai pihak yang bertanggung jawab. Penyensoran ketat di internet China membuat diskusi tentang kontroversi ini sulit berkembang secara terbuka.
Kemarahan publik juga dipicu oleh keterbatasan akses terhadap obat impor, yang dinilai lebih berkualitas. Salah satu unggahan di Weibo menuliskan, "Selama kami masih bisa membeli obat bermerek, saya tidak akan banyak mengeluh."
Sistem Pengadaan Obat di China
China memperkenalkan sistem pengadaan obat pada 2018 untuk mengurangi pengeluaran negara. Pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam proses tender untuk memenuhi 70% kebutuhan obat rumah sakit umum.
Model ini mendorong persaingan ketat antarprodusen obat generik domestik, yang menawarkan harga serendah mungkin agar memenangkan kontrak. Akibatnya, muncul pertanyaan mengenai kualitas obat yang ditawarkan dengan harga terlalu murah.
Salah satu contoh ekstrem terjadi pada Desember lalu, ketika sebuah tablet aspirin dijual dengan harga kurang dari satu sen. Perdebatan pun muncul: "Bisakah obat semurah itu benar-benar efektif?"
Beberapa pakar menyoroti dampak sistem ini terhadap kualitas obat. Stacy Zhang, profesor madya di NYU Langone Health, menilai harga yang sangat rendah dapat mendorong produsen mengambil jalan pintas dalam produksi, berisiko menurunkan efektivitas obat.
Efektivitas Obat Generik
Sebanyak 20 dokter, termasuk Zheng Minhua, telah mengajukan proposal kepada otoritas Shanghai, menyampaikan kekhawatiran bahwa harga tender yang terlalu rendah dapat memicu praktik tidak etis di industri farmasi.
Seorang dokter di Hangzhou, Xia Zhimin, bahkan menuding bahwa data uji klinis obat generik dalam daftar pengadaan terlalu identik dengan obat bermerek yang menjadi dasar produksinya—menimbulkan dugaan manipulasi data.
Namun, Badan Pengawas Produk Medis Nasional membantah tuduhan tersebut, menyebutnya sebagai "kesalahan editorial". Artikel Xia Zhimin pun dihapus.
Di tengah kontroversi ini, masalah lain juga muncul: peredaran obat palsu yang sulit dideteksi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut peredaran obat palsu sebagai masalah kesehatan global yang mengancam banyak negara, termasuk China.
Kevin Lu, profesor madya di South Carolina University, menegaskan bahwa meski pengenalan obat generik bertujuan untuk menekan biaya, sistem pengadaan tetap harus diperbaiki, terutama dalam hal pengawasan kualitas dan regulasi produksi.
Kontroversi ini mencuat di tengah meningkatnya tekanan terhadap sistem layanan kesehatan di China.
Populasi yang menua dengan cepat menyebabkan pengeluaran kesehatan melonjak hampir 20 kali lipat dalam dua dekade terakhir, mencapai 9 triliun yuan (sekitar Rp20 ribu triliun) pada 2023.
Di berbagai wilayah, dana asuransi kesehatan publik semakin menipis.
Beberapa provinsi mulai mengalami defisit, sementara pemerintah daerah yang sebelumnya bergantung pada pendapatan dari penjualan tanah kini kesulitan menghadapi utang akibat krisis properti yang mengguncang ekonomi China.
Di saat yang sama, kepercayaan terhadap sistem layanan kesehatan terus menurun.
Sejak awal 2000-an, insiden kekerasan terhadap tenaga medis semakin sering terjadi, didorong oleh ketidakpuasan terhadap keterbatasan sumber daya serta menurunnya kepercayaan terhadap dokter.
Persoalan terkait pengadaan obat akhirnya mendapat perhatian pemerintah sebagai isu yang perlu ditangani.
Berbeda dengan topik sensitif lainnya seperti represi terhadap pembangkang politik atau perlakuan terhadap suku Uighur di Xinjiang, isu ini tidak mengalami penyensoran yang ketat.
Dalam pernyataan yang dirilis pada 19 Januari, Badan Keamanan Kesehatan Nasional menyatakan bahwa pemerintah sangat memperhatikan masalah ini dan berencana mengumpulkan masukan untuk memperbaiki kebijakan pengadaan obat.
"Pengadaan obat secara terpusat di tingkat nasional masih berada dalam tahap awal," ujar seorang pakar kesehatan masyarakat yang dikutip media pemerintah, Life Times.
Menurutnya, masih terdapat banyak perusahaan farmasi dengan standar produksi yang beragam.
Pakar lain dalam laporan tersebut menekankan pentingnya peningkatan standar evaluasi obat untuk menjamin kualitasnya.
Pemerintah pun berupaya memperbaiki citra sistem pengadaan obat generik dengan meningkatkan pengawasan, sembari tetap mempertahankan tujuan awalnya—menyediakan obat yang terjangkau bagi masyarakat sekaligus menghemat anggaran negara.
Namun, seorang pengguna Weibo berpendapat bahwa penghematan dari harga obat yang lebih rendah hanyalah "setetes air dalam ember" dibandingkan total biaya layanan kesehatan nasional China.
Di sisi lain, ia memperingatkan bahwa membiarkan obat-obatan yang berpotensi bermasalah beredar luas sama saja dengan "meminum racun untuk menghilangkan dahaga".
[Redaktur: Rinrin Kaltarina]