WahanaNews.co | Pemilihan parlemen Tunisia membukukan rekor jumlah pemilih paling rendah karena sebagian besar partai politik memboikot pemungutan suara, mencela pemilihan tersebut sebagai puncak dari langkah Presiden Kais Saied menuju pemerintahan satu orang.
Tahun lalu, Saied, seorang mantan profesor hukum, menggulingkan pemerintah dan menangguhkan sebagian dari konstitusi 2014, yang merupakan produk dari pemberontakan demokrasi Arab pada 2011.
Baca Juga:
Jelang Ramadan 2024, Impor Kurma ke Indonesia Meningkat
Piagam tersebut seharusnya membatasi kekuasaan presiden dan memberikan ruang keterlibatan parlemen dan perdana menteri dalam pengambilan kebijakan.
Parlemen Tunisia sebelumnya dipilih dengan jumlah suara sekitar 40 persen.
Akan tetapi pada 2021, Saied menutup parlemen sementara dia mengambil alih seluruh kekuasaan melalui dekrit. Oposisi mengkritik langkah-langkah itu sebagai kudeta.
Baca Juga:
Sebelum Jumpa Timnas U-20, Prancis Hanya Seri 2 Kali Lawan Tunisia
Saied menyebut pemungutan suara legislatif Sabtu (17/12/2022) sebagai "hari bersejarah" sembari mendesak warga Tunisia untuk memberikan suara mereka.
“Ini adalah hari bersejarah dengan semua standar. (Tanggal pemilihan) ditentukan dan dihormati terlepas dari segala rintangan,” katanya setelah memberikan suara di TPS di ibu kota Tunis dilansir dari Al Jazeera.
Namun, kurang dari 9 persen pemilih terdaftar yang datang untuk memberikan suara mereka pada Sabtu (17/12/2022) .
Sejak pagi, orang hampir tidak bisa masuk ke TPS.
Hampir sepanjang hari, tampaknya ada lebih banyak staf dan keamanan di TPS daripada pemilih. Pengamat mengatakan angka merayap ke puluhan, paling banter.
Pada pukul 08.05 waktu setempat di tempat pemungutan suara di pusat kota Tunis, hanya satu perempuan yang hadir untuk memberikan suara.
“Saya ingin mendukung negara saya dan mendukung presiden saya. Saya ingin negara ini maju dan menjadi lebih baik dan itulah mengapa saya memilih hari ini,” kata pemilik bisnis kecil lokal Manoubia Shagawi itu.
Ini sangat kontras dengan sekelompok wanita muda yang, ketika ditanya apakah mereka berniat untuk memilih, dengan tegas menjawab "Tidak" dan pergi.
Oumaima ben Abdullah, seorang juru kampanye dari partai Arus Demokratik kiri-tengah, mengatakan: "Boikot aktif dilakukan oleh orang-orang dari masyarakat sipil dan partai politik."
Zoubeir Daly, anggota pendiri asosiasi pemantau pemilu Tunisia, Mourakiboun, menjelaskan bahwa orang secara efektif menghindari surat suara sebagai protes diam bukannya karena sikap apatis.
“Ini adalah pernyataan tentang perasaan rakyat terhadap situasi negara secara keseluruhan,” katanya.
Hashem Ahelbarra dari Al Jazeera mengatakan jumlah pemilih tersebut merupakan indikasi sentimen umum di antara warga Tunisia yang prihatin tentang masa depan negara mereka.
"Oposisi telah memboikot pemilu," katanya.
“Serikat buruh terbesar dan terkuat, UGTT, memutuskan tidak akan mengambil bagian dalam proses politik ini dan sudah sangat kritis terhadap Presiden Saied.”
Ahelbarra mengatakan ekonomi yang terpuruk, inflasi tinggi, dan harga pangan yang meroket menjadi faktor penyebab banyak orang tidak memilih.
“Ini menjelaskan mengapa orang-orang selama beberapa minggu terakhir kehilangan harapan dalam proses politik, dan karenanya, (menghasilkan) jumlah pemilih yang rendah di Tunisia belum pernah terjadi sebelumnya,” jelasnya. [eta]