WahanaNews.co, Jakarta - Sebuah perusahaan di Korea Selatan (Korsel) telah mengumumkan insentif yang menarik bagi karyawannya: bonus sebesar USD75.000 (lebih dari Rp1 miliar) setiap kali mereka memiliki seorang bayi.
Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya untuk mengatasi krisis populasi yang sedang dihadapi oleh negara tersebut.
Baca Juga:
Bantu Rusia, Terungkap Kim Jong Un Kirim Tentara ke Ukraina
Lee Joong-keun, chairman dari Booyoung Group, sebuah perusahaan konstruksi ternama, mengungkapkan kepada para pekerja bahwa "Jika angka kelahiran di Korea tetap rendah, negara ini akan menghadapi kepunahan."
Tingkat kesuburan di negara tersebut, yang saat ini merupakan yang terendah di dunia, terus menurun, dengan rata-rata jumlah bayi yang diharapkan per wanita Korea Selatan kini turun menjadi 0,72 dari 0,78 pada tahun sebelumnya—sebuah angka yang jauh di bawah tingkat penggantian sebesar 2,1.
Tren ini dipengaruhi oleh perubahan sosial seperti pergeseran pandangan terhadap pernikahan dan kehidupan keluarga, tekanan ekonomi, kekhawatiran akan kehilangan peluang kerja, dan kecenderungan untuk hidup sendiri.
Baca Juga:
Pengusaha WN Korsel Ditangkap KLHK Sulbar Soal Tambang Pasir: CV Wahab Tola Sah Punya IUP dan SHM
Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, pada tahun 2022, mengumumkan bahwa pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar USD200 miliar selama 16 tahun untuk mendukung inisiatif yang bertujuan untuk membantu ibu baru.
Mulai tahun ini, tunjangan untuk keluarga yang memiliki bayi juga telah ditingkatkan menjadi USD750.
Perusahaan-perusahaan seperti Booyoung berkontribusi pada upaya-upaya nasional ini dengan memberikan insentif bagi karyawannya.
“Saya berharap kami akan diakui sebagai perusahaan yang berkontribusi dalam mendorong kelahiran… dan kekhawatiran mengenai masa depan negara ini,” kata Lee kepada para pekerjanya, seperti dikutip dari CNN, Minggu (31/3/2024).
Seorang juru bicara Booyoung mengatakan kepada CNN bahwa manfaat tersebut tersedia untuk pekerja perempuan dan laki-laki.
“Masalah angka kelahiran yang rendah mengharuskan kita untuk menangani situasi ini dengan lebih serius dan memikirkan penyebab dan solusi dari dimensi yang berbeda dari sebelumnya,” kata Presiden Yoon pada bulan Desember lalu.
“Waktunya semakin sempit. Saya berharap setiap instansi pemerintah menyikapi permasalahan rendahnya angka kelahiran dengan tekad yang luar biasa,” ujarnya.
Kelangkaan bayi mempercepat kesengsaraan demografi Korea Selatan.
Negara berpenduduk 51 juta jiwa ini mengalami penurunan populasi selama empat tahun berturut-turut pada tahun 2023. Sementara itu, proporsi penduduk muda terhadap penduduk tua telah menyusut dengan cepat dalam beberapa dekade terakhir.
Pada tahun 1990, sekitar sepertiga dari populasi Korea Selatan adalah orang dewasa muda berusia 19 hingga 34 tahun.
Namun, pada tahun 2020, angka ini menurun menjadi 10,21 juta, atau hanya sekitar seperlima dari total populasi.
Menurut proyeksi dari Biro Statistik negara tersebut, diperkirakan jumlah ini akan turun menjadi 5,21 juta pada tahun 2050.
Sebaliknya, pada tahun 2022, sekitar 17,5 persen dari populasi Korea Selatan adalah orang yang berusia 65 tahun ke atas.
Trend ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk lanjut usia akan melampaui jumlah populasi orang dewasa muda pada akhir dekade ini.
Penurunan dalam jumlah populasi orang dewasa muda juga menimbulkan kekhawatiran tentang daya saing jangka panjang negara ini, yang merupakan perekonomian terbesar keempat di Asia.
Namun, negara-negara tetangga Korea Selatan di Asia Timur juga menghadapi masalah serupa dengan tingkat kesuburan yang rendah, termasuk China, Jepang, dan Taiwan, yang semuanya menghadapi tantangan dalam hal krisis populasi yang akan datang.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]