WahanaNews.co | Niger, yang saat ini berada di bawah kekuasaan junta militer, menghadapi ancaman perang besar karena negara-negara di Afrika Barat bersiap untuk melakukan intervensi militer setelah memberikan ultimatum yang berakhir pada hari Minggu (6/8/2023).
Para kepala pertahanan negara-negara di Afrika Barat telah menyusun rencana aksi militer jika kudeta di Niger tidak dibatalkan dalam batas waktu yang ditentukan hari ini.
Baca Juga:
Soal Isu Khianati Gus Dur, Cak Imin Buka Suara
Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS) telah memberikan batas waktu kepada pemimpin kudeta di Niger hingga Minggu untuk mundur dan mengembalikan kekuasaan kepada presiden terpilih, Mohamed Bazoum.
ECOWAS telah mengambil sikap keras terhadap pengambilalihan kekuasaan pada 26 Juli yang merupakan kudeta ketujuh di Afrika Barat dan Tengah sejak 2020.
Niger memiliki kepentingan strategis bagi Amerika Serikat, China, Eropa, dan Rusia karena keberadaan deposit uranium dan minyaknya, serta peran pentingnya dalam perang melawan pemberontak Islamis di wilayah Sahel.
Baca Juga:
Kudeta Guncang Gabon, Kekuasaan 56 Tahun Ali Bongo Berakhir
AS telah menghentikan program bantuan asing tertentu yang mendukung pemerintah Niger, namun tetap memberikan bantuan kemanusiaan dan makanan. Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, menyampaikan hal ini pada hari Jumat.
Prancis, seperti yang dilaporkan oleh Reuters, akan mendukung intervensi militer ECOWAS untuk menggagalkan kudeta, namun belum memutuskan apakah mereka akan memberikan dukungan militer untuk intervensi tersebut.
Menteri Luar Negeri Prancis, Catherine Colonna, bertemu dengan mantan perdana menteri Niger, Ouhoumoudou Mahamadou, dan duta besar Niger di Paris, pada hari Sabtu (5/8/2023).
Menurut rencana intervensi, keputusan mengenai kapan dan di mana pasukan akan menyerang akan diambil oleh kepala negara dan tidak akan diungkapkan kepada komplotan kudeta. Hal ini diungkapkan oleh Abdel-Fatau Musah, komisioner urusan politik, perdamaian, dan keamanan ECOWAS.
"Semua persiapan yang dibutuhkan untuk intervensi telah diselesaikan, termasuk sumber daya yang diperlukan, serta bagaimana dan kapan pasukan akan dikerahkan," kata Musah saat penutupan pertemuan tiga hari di Abuja, Ibu Kota Nigeria.
Keputusan apapun yang diambil oleh ECOWAS berisiko memicu konflik lebih lanjut di salah satu wilayah termiskin di dunia, di mana kelompok terkait dengan ISIS dan al-Qaeda semakin aktif dalam situasi kekacauan.
Belum jelas sejauh mana dukungan yang dimiliki oleh blok ECOWAS. Meskipun Chad bukan bagian dari ECOWAS, Presiden Chad, Mahamat Idriss Déby, berperan dalam upaya mediasi untuk krisis Niger minggu ini dan menyatakan bahwa Chad tidak akan melakukan intervensi militer.
Menteri Pertahanan Chad, Jenderal Daoud Yaya Brahim, mengatakan di televisi nasional pada hari Jumat: "Kami selalu menganjurkan dialog antara warga Niger dan kami tidak akan pernah campur tangan dengan cara militer."
ECOWAS telah memberlakukan sanksi terhadap Niger dan mengirim delegasi ke ibu kota, Niamey, pada hari Kamis untuk mencari "resolusi damai".
Namun, sumber dalam rombongan delegasi mengatakan bahwa mereka ditolak mentah-mentah oleh junta di Niger.
"Kami berharap diplomasi berhasil, dan kami ingin menyampaikan pesan dengan jelas kepada mereka bahwa kami memberi mereka setiap kesempatan untuk mengubah apa yang telah mereka lakukan," kata Musah.
Presiden Nigeria, Bola Tinubu, telah memerintahkan kepada pemerintahannya untuk mempersiapkan opsi termasuk penempatan personel militer. Perintah ini diungkapkan melalui surat yang dibacakan kepada senat negara tersebut pada Jumat (4/8/2023).
Selain itu, Senegal juga mengumumkan bahwa mereka akan mengirim pasukan ke wilayah tersebut.
Di sisi lain, junta di Niger mendapat dukungan dari Burkina Faso dan Mali. Selain itu, junta di Niger juga dilaporkan telah meminta bantuan kepada tentara bayaran Rusia, yaitu Wagner Group.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]