Pemerintahan Modi menyebut film itu sebagai propaganda, dan telah melarangnya untuk disiarkan atau dibagikan di media sosial.
Twitter dan YouTube tunduk pada pelarangan itu, begitu pula beberapa universitas memblokir mahasiswa untuk memutar film tersebut.
Baca Juga:
Di Ambang Perang, Ini Perbandingan Kekuatan Militer China-Taiwan
Catatan kebebasan pers yang buruk
Tekanan yang begitu kuat dari pemerintahan Modi pun tak pelak memicu tuduhan penyensoran dan serangan terhadap kebebasan pers dari lawan-lawan Modi.
Mahua Moitra, seorang anggota parlemen dari partai Kongres Trinamool Seluruh India (AITC), bahkan mengunggah tautan ke film tersebut di akun Twitter-nya seraya menuliskan: "baik, buruk, atau jelek - kami yang memutuskan. Pemerintah tidak berhak mengatur kami apa yang harus ditonton.”
Baca Juga:
Obral Janji, Menlu Inggris Liz Truss Panaskan Bursa Calon PM Inggris
"Anda bisa melarang, Anda bisa menekan pers, Anda bisa mengontrol institusi, tapi kebenaran adalah kebenaran. Dia selalu punya cara untuk muncul,” kata Rahul Gandhi, pemimpin partai oposisi Kongres Nasional India (INC) kepada wartawan pada Selasa (24/1/2023).
Human Rights Watch menyebut upaya pelarangan tersebut sebagai tipikal pemerintahan Modi, yang dinilai kerap mengambil tindakan keras untuk membatalkan liputan yang tidak disukainya.
Insiden pelarangan ini memang bukan pertama kalinya. Organisasi Reporters Without Border bahkan menempatkan India di peringkat 150 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia terbarunya. Angka itu turun delapan peringkat dalam setahun.